13. Epiphany

1.8K 69 6
                                    

Jen Nera mengeluarkan karet pengaman dari dalam tas. Ia berdiri membelakangi si pelanggan yang duduk pada ranjang. Kepala Jen sedikit pening. Semua akibat bau parfum dari tubuh pelanggannya itu. Aroma yang menyengat sekaligus kuat bukan main - seolah dia tak sekedar menyemprotkan parfum ke badan, melainkan mandi berendam di dalamnya.

"Kamu cantik banget. Sesuai seleraku." Lelaki itu menghampiri dan merengkuh pinggang Jen. Ia lalu mencumbu tengkuknya penuh nafsu.

Bulu kuduk Jen meremang.

Ia memejamkan mata untuk mengatur napas yang berantakan. Namun ketika semua menghitam, bayangan Boy justru hadir mengusik pikiran. Ketika si pelanggan menyesap pundak Jen dengan liar, ingatan ketika Boy menyangga dagu pada bahunya semakin kuat mengganggu.

Tangan lelaki itu mulai berani menyusup ke depan, mencari-cari dua bukit kembar Jen dan meremasnya.

"Oh, cantiknya ..." bisik si lelaki. Ia menuntun Jen untuk berbalik badan. Kemudian menyingkap atasan sang wanita agar matanya bebas memandangi buah dada yang sangat ingin ia mainkan.

Otot-otot Jen menegang. Ia bersandar pada meja untuk menopang tubuh yang sedikit gemetar. Sementara pelanggannya sedang asyik memainkan gundukan kenyalnya secara bergantian. Menyusu buas di area itu seperti kelaparan.

"Aku akan menunggumu."

"Andai saja kamu berubah pikiran."

Jen semakin tercekat. Sesuatu dalam hatinya seolah sedang sibuk berperang satu sama lain. Logika memaksa untuk bertahan demi uang. Tetapi nurani Jen menjerit meminta berhenti.

"Ayo kita ke ranjang." Lelaki itu menuntun Jen untuk berbaring di kasur.

Jen pun patuh seperti seekor anjing terlatih. Saat ia sudah terlentang; pelanggan tadi melanjutkan jamahan, melucuti jeans, lalu menurunkan celana dalamnya. Kewanitaan Jen yang terekspos menjadi sasaran baru bagi lelaki hidung belang itu.

"Cantiknya," desah si pelanggan.

Seharusnya tidak sulit bagi Jen untuk melakukan layanan dewasa, ini bukan yang pertama. Tetapi tetap saja ia kesulitan. Terlebih sekarang - saat ia tahu ada lelaki tolol yang menunggunya selesai bekerja di bawah. Bocah kutu buku yang bersikukuh tak akan pergi hingga Jen pulang. Lelaki bersenyum menawan yang katanya akan menerima segala baik-buruk Jen dengan pikiran terbuka. Lelaki yang memandang Jen melalui sorot lembut tanpa secuil pun mengintimidasinya.

Dia Boy ...

Degup jantung Jen bertabuh; bertalun-talun, dan berdentum. Ia sudah kalah. Ia sudah termakan omongan sendiri.

Jen terlanjur jatuh cinta pada Boy, pemuda miskin yang motor butut pun dapat dari hasil meminjam.

Padahal ia sudah bersumpah hanya akan menyukai lelaki-lelaki kaya raya. Yang melemparkan segepok dolar selesai bercinta. Memberikan cincin berlian dan tas Hermès setiap selesai nge-date. Dan Boy bukan salah satunya.

"Om, please!" Jen Nera menegakkan punggung dan mendorong tubuh si pelanggan agar menjauh.

"Kenapa nih?!"

"Maaf, tapi aku nggak bisa," tolak Jen. Ia meraih pakaian untuk segera memakainya.

"Maksud kamu nggak bisa?"

Jen yang sudah menutupi tubuh pun buru-buru meraih tas - bersiap pergi. "Parfummu terlalu menyengat, that smells like my granpa's ass!" Ia lalu membuka pintu dan membantingnya.

Sebuah tarikan pada kedua sudut bibir Jen Nera melengkung lebar. Semakin ia melangkah, semakin ia mempercepatnya. Hingga pada akhirnya wanita itu pun berlari untuk menemui seseorang yang rela menunggunya.

POLY (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang