08. Hiraeth

1.6K 52 0
                                    

Jen Nera duduk seraya memandang hiruk pikuk kendaraan yang berseliweran. Matanya berfungsi baik, tetapi tidak fokusnya. Ia hadir di situ bak raga tanpa jiwa. Melamun sambil sesekali menoleh ke arah gedung tinggi menjulang di samping kiri. Tempat di mana seharusnya ia pergi — apartemen Boy.

Gengsi Jen Nera terlalu tinggi untuk menghampiri Boy duluan. Berdiri di depan pintu unit seperti orang tolol sambil melambaikan tangan? Membayangkannya saja Jen sudah merinding sendiri.

Pada akhirnya wanita itu hanya duduk sendirian di tengah keramaian. Terpaksa menyaksikan sekumpulan manusia yang sibuk tertawa dan berbicara sambil menikmati waktu. Sementara ia hanya diam pada sisi jalan; mirip pelacur murahan yang sedang menunggu di jemput pelanggan. Yah, meski dia memang benar pelacur, sih.

Ketika tanpa tujuan begini, Jen jadi teringat kalau ia lupa mensyukuri kehidupannya yang dulu. Kehidupan semasa Yosua masih ada. Meski cuma rumah kontrakan, makanan seadanya, dan uang pas-pasan; setidaknya Jen punya rumah untuk kembali pulang. Ternyata 'rumah' bukan semata tempat untuk berteduh, tetapi dengan siapa kita tinggal di dalamnya.

Meski rumah Maria lebih luas, Jen sama sekali tidak bahagia. Ia seperti tinggal di pelatihan menuju neraka. Maria adalah Belial, sementara pakdenya adalah Lucifer.

Wanita itu kemudian melirik jam tangan dan ia sedikit terkejut. Sedari tadi ternyata waktu cuma bergulir selama 30 menit. Dan sekarang semua kesialan justru bertambah karena perutnya mendadak keroncongan. Ia juga merasa gerah sekaligus lengket. Tadi Jen belum sempat mandi sehabis melayani pelanggan. Mau bagaimana — lelaki tua itu seolah enggan berlama-lama dengan Jen. Mungkin ia kecewa karena sudah berekspektasi Cecilia yang bakal datang.

Jen Nera pun berdiri dan menembus keramaian pengunjung jalan Tunjungan. Ia mencari minimarket yang kapan hari dikunjungi bersama Boy. Ada baiknya mengganjal perut dengan roti sebelum pulang ke rumah.

Angin dingin dari penyejuk udara minimarket sontak menerpa kulit Jen yang berkeringat. Sesuatu yang membuat wanita itu berencana berlama-lama di sana. Padahal tujuannya sudah jelas, cuma beli roti dan segelas air mineral. Dengan tak acuh, Jen berjalan menuju rak make up, memilih-milih seolah bakal membeli salah satu di antara pewarna bibir yang ia lihat.

"Deep pink looks great on you."

"Shit!" Jen Nera terperanjat hingga menjatuhkan kedua lipstik yang ia pegang. Ia pun melotot dan menoleh ke belakang. "Boy?!"

Boy memungut barang yang dijatuhkan oleh Jen. Sambil tersenyum, lelaki itu memberikannya kembali.

"Sedang apa kamu di sini?!" sentak Jen Nera.

"Aku mau belanja mie. Kamu lupa aku tinggal di mana, huh?" sahut Boy. "Kamu yang ngapain di sini, Je?"

Jen Nera gelagapan. "A-aku ..." Mana mungkin dia menjawab jujur soal niatnya menemui lelaki itu.

"Jangan bilang kamu mau cari aku?" terka Boy jahil. "Ngaku, deh, Miss Geng Xi Dong!"

"Dih! Pede amat jadi cowok!" kelit Jen senewen. Ia berjalan menghindar menuju lorong makanan. "Aku abis menemui pelanggan yang tidak jauh dari sini. Lapar, lalu mampir ke mari untuk beli makanan."

"Kamu habis kerja?" tanya Boy pelan.

"Ya." Jen Nera mengambil sebungkus roti.

Boy seketika menyambar belanjaan Jen. "Biar aku yang bayar," katanya. "Tunggu, ya. Aku ambil mie dulu."

Diam-diam Jen menyembunyikan senyum. Ia mengikuti Boy dari belakang sambil memandangi punggung lebar lelaki itu. Rambut Boy tampak sedikit lembab, mungkin ia baru saja mandi. Aroma khas citrus jelas menguar darinya.

POLY (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang