Kalung itu masih ada di hadapannya, bergoyang.
Morka mengerjap, mulai menyadari bahwa dirinya masih berada di tempat, duduk di sebelah ibunya sambil menatap kalung yang tengah digoyangkan oleh Seta. Morka menggerakkan bola matanya, mendapati wajah Seta yang begitu dekat. Pria itu menangkap untaian kalung, membuatnya berhenti bergoyang. Seta menggenggam erat kalung itu, lalu menurunkan tangannya, membuat pandangan Morka secara spontan mengikuti pergerakan tangan pria itu.
"Jadi, apa saja yang kau lihat, Morka?" Pertanyaan Seta sontak mengambil atensi Morka. Anak itu kembali memandang wajah Seta. Pria itu bahkan belum sedikit pun melebarkan jarak.
Untuk sepersekian detik Morka hanya menatap Seta, sebelum akhirnya ia membalas, "Orang banyak di pasar, rumah sakit, dan..."
Seta masih memusatkan perhatiannya pada Morka. Bocah itu mengalihkan tatapannya, lalu ia mengerutkan kening, terlihat berpikir. "Kau melihatku di sana?" tanya Seta kemudian, berhasil menghilangkan kerutan di kening bocah itu.
Morka mengangguk.
"Apa yang aku lakukan?" tanya Seta, lagi.
Morka menggerakkan bola matanya ke sana-sini, berusaha untuk menemukan kata-kata yang tepat untuk memulai. Kemudian, ia kembali melihat Seta dan berujar, "Kau di pasar, membeli kalung. Setelah itu, kau ada di rumah sakit, memberikan kalung itu kepada seorang wanita."
Magenta memperhatikan kedua manusia di dekatnya. Bergantian ia menatap putranya dan sang pemuka agama, menyimak setiap perkataan maupun memindai reaksi yang ditunjukkan oleh keduanya. Wanita itu menghentikan tatapannya pada Seta dengan durasi yang cukup lama saat Morka berbicara. Terlihat bulir-bulir bening pada kedua mata Seta. Pria itu pada akhirnya menatap ke atas untuk membendung air mata, setelah sebelumnya sejak lama ia tidak mengalihkan tatapannya dari Morka.
"Apa yang terjadi? Apa maksud dari semua ini?" tanya Magenta usai cukup lama ia hanya memperhatikan.
Akhirnya, Seta melebarkan jarak antara dirinya dengan Morka setelah mendengar pertanyaan Magenta. Pria itu menyandarkan diri pada sofa sambil menghela napas.
"Morka bisa melihat masa laluku dan kalung ini..." Seta menjeda ucapannya. Ia membuka genggaman tangannya, melihat ke arah kalung, dan kembali menunjukkannya. "Kalung ini kubeli di pasar sebagai hadiah untuk Ibuku yang sedang berada di rumah sakit. Saat itu, usiaku dua puluh tahun."
Magenta dan Morka menyimak, lalu mulai merasakan atmosfer biru yang kian menyergap. Pemuka agama itu menundukkan kepala sembari meletakkan kalung di pangkuannya, lalu ia melanjutkan, "Sayangnya, setibanya aku di rumah sakit, Ibuku sudah tiada, tepat di hari ulang tahunnya. Selama dua puluh tahun hidupku, aku belum bisa memberikan apa pun untuknya, lalu ibuku-."
Ucapan Seta terhenti. Ia tersedak isak tangisnya yang tiba-tiba lepas. Suasana hening beberapa saat sampai akhirnya Seta mampu mengendalikan diri. Ia mengangkat kepala, menatap kedua anak dan ibu di hadapannya seraya terkekeh pelan. "Maafkan aku. Aku memang sedikit emosional," katanya.
"Saya turut bersedih mendengarnya, Pak," sahut Magenta. "Tapi, bagaimana cara Morka melakukannya?"
Seta tersenyum. "Melihat suatu objek," balasnya.
Magenta mengernyit.
"Hanya dengan melihat suatu objek, Morka bisa melihat latar belakang dari objek itu. Tidak hanya melihat, tetapi jiwa Morka juga bisa masuk kembali ke masa lalu yang dilihatnya." lanjut Seta.
Magenta seketika menatap lekat putranya. Ia menangkup wajah Morka, lantas memeluknya. Raut wajah wanita itu memancarkan berbagai macam perasaan. Bisa jadi itu terkejut, takut, cemas, dan bingung. Seta yang menyadari hal itu pun lantas berujar, "Kabar baiknya, Morka sebenarnya bisa mengendalikan dirinya. Hanya saja-."
KAMU SEDANG MEMBACA
MORKA [Selesai]
HorrorSeorang pria berpakaian kusut, 31 tahun, sedang meratapi kehidupan sambil menikmati senja. Seorang anak perempuan yang entah sejak kapan tiba-tiba muncul, menarik perhatiannya. Anak perempuan itu berkata bahwa ia sedang menunggu sahabatnya. Pria itu...