Bab 4: Ruang Bawah Tanah

42 6 0
                                    

Morka menutup buku. Ia melirik ke arah jam di meja belajarnya. Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah seharusnya ia mengikuti ucapan ibunya untuk tidur. Namun, Morka tidak akan bisa tidur sebelum meminum obatnya. Morka turun dari kursi meja belajar, mendekati tempat tidur, dan mendudukkan diri di sana. Ia mulai memutar otak, memikirkan bagaimana caranya untuk bisa minum obat.

Sementara Auva telah mengambil obatnya.

Morka mendengus. Ia bahkan tidak tahu di mana Auva saat ini. Anak laki-laki itu turun dari tempat tidur, berjalan ke arah pintu, dan membukanya. Morka diam di tempat, menoleh ke sana-ke mari, mendapati koridor gelap. Morka berpikir bahwa orang tuanya pasti sudah tidur. 

Tanpa banyak berpikir lagi, Morka segera menyatu di dalam kegelapan. Morka berjalan, menyusuri gelapnya koridor yang membuat pandangan siapa pun berada pada titik buta. Morka juga merasakan hal yang sama. Gelap, itulah yang ia lihat. Akan tetapi, penglihatan bocah itu mampu menangkap sesuatu yang bergerak-gerak di sekitarnya. Morka terus berjalan, tidak menghiraukan usikan-usikan kecil yang berusaha mengambil perhatiannya. 

Langkah Morka berhenti tepat di ujung lorong. Ia menoleh ke kanan, melihat ke arah pintu yang sempat ia masuki siang tadi. Auva tidak mungkin ada di sana, mengingat siang tadi Morka hampir memergokinya sedang bersembunyi di sana, jika saja Magenta tidak datang dan membawanya keluar. 

Morka pun menoleh ke kiri, mendapati pintu lain di sana. Pintu itu terhubung menuju basement rumahnya. Morka tahu bahwa basement merupakan hal yang tidak biasa ada pada rumah-rumah masyarakat di negeri ini. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa mereka juga memiliki ruangan seperti ini di rumah. Morka pun mengerti bahwa rumah ini telah ada sejak orang-orang berkulit putih itu menjajah negaranya. Desain interior rumah ini telah berubah seiring berjalannya waktu, kecuali untuk ruang bawah tanah.

Morka tentu pernah masuk ke ruangan itu, tetapi sudah sangat lama ia tidak ke sana lagi. Morka lantas berjalan pelan ke arah pintu itu. Baru beberapa meter mendekati pintu, Morka dikejutkan dengan pintu yang terbuka dengan keras. Bayang-bayang pria tinggi muncul. Pria itu berjalan keluar sambil menyeret seorang balita yang menangis seraya meraung-raung. Pintu tersebut lantas ditutup dengan kasar, lalu pria itu mulai memukuli si balita. Tidak lama, bayang-bayang seorang wanita muncul. Wanita itu berlari ke arah si pria, lalu ia mengambil alih balita yang tengkurap tidak berdaya di atas lantai. 

Tanpa sadar, Morka terus berjalan pelan, semakin mendekat. Ia mengangkat tangan, menjulurkannya ke depan, berniat untuk menyentuh lengan wanita itu. Namun, begitu Morka hampir menyentuhnya, bayang-bayang wanita itu lenyap. 

"Ibu?" Morka mengedarkan pandangan. Ia menyadari bahwa bukan bayang-bayang Magenta saja yang tiba-tiba hilang, melainkan juga bayang-bayang Wilis. 

Juga bayang-bayang dirinya sendiri. 

Morka menyentuh punggungnya yang terbalut oleh pakaian. Bekas itu sudah tidak ada di sana, tetapi pukulan itu tetap saja terasa. Lebih tepatnya, Morka memang tidak pernah bisa melupakan bagaimana rasanya. 

"Itukah sebabnya kau tidak pernah mau masuk ke sini lagi, Morka?"

Mendengar itu, Morka tersentak. 

"Kalau kau mau obatmu kembali, temukan aku! Aku ada di dalam."

Morka mendorong pintu di hadapannya, menampilkan undakan-undakan anak tangga yang mengarah ke bawah, menuju kegelapan. Sepasang kakinya memijak anak tangga pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Pintu itu tertutup sendirinya bersamaan dengan tubuh Morka yang lenyap ditelan kegelapan. 

Persetan dengan gejolak dalam batinnya atau pun dengan Auva. 

Morka hanya menginginkan obatnya. 

Derik jangkrik, cicitan tikus, gesekan kaki tiap serangga, hingga pergerakan tipis debu, mulai memenuhi indera pendengaran Morka. Pupil matanya melebar, bukan untuk mencari keberadaan cahaya, tetapi untuk memindai segala hal yang dilihatnya di tengah kegelapan. Begitu kakinya sudah menapak pada lantai bawah, sepasang mata Morka langsung tertuju pada sebuah kaitan yang menggantung di tengah ruangan. Morka mendekati sebuah kursi di dekat tangga, menariknya ke tengah ruangan, dan menaikinya. Setelah tubuhnya berdiri tegap di atas kursi, Morka mengangkat tangan dan menarik kaitan. Ruangan seketika menjadi terang.

Morka turun dari kursi. Pandangannya mulai menyapu tiap jengkal ruangan. Ada banyak sekali peralatan tukang di sini. Fokusnya tertuju pada sekop-sekop yang berserakan di bawah meja. Samar-samar, Morka menyaksikan beberapa orang tengah memotong besi. Sebagian tampak tengah membuat rangkaian besi menggunakan alat las. Sisanya terlihat sedang mengecat sekop-sekop yang sudah jadi. Kemudian, sekop-sekop itu diletakkan pada wadah, diambil, dan terus dipindahkan, hingga sekop-sekop itu kini terserak di basement rumahnya.

Sekop-sekop yang berputar di dalam kepala Morka seketika menghilang sewaktu gendang telinganya menangkap suara gesekan. Morka sontak menoleh ke sudut ruangan, tempat suara itu berasal. Morka mendapati sebuah cangkul di sana. Ia merasa cangkul itu tampak begitu familiar. Tanpa sadar, Morka sudah memangkas jarak antara dirinya dengan cangkul itu. Baru saja tangannya akan menyentuh benda itu, sebuah tangan keriput sudah lebih dulu meraihnya. Morka sontak menoleh dengan cepat, menyaksikan seorang wanita tua. Postur tubuhnya sedikit membungkuk. Si wanita tua tampak sedang berjalan tertatih sambil menyeret cangkul itu. Morka segera mengikutinya. Ia bahkan berusaha mempercepat langkahnya agar bisa menyamai langkah wanita tua itu. Namun, semakin Morka mempercepat langkahnya, maka wanita tua itu terasa kian jauh di depan sana, seakan Morka memang tidak akan pernah bisa mencapainya. 

Si wanita tua berjalan ke arah tangga, tetapi bukan tangga yang digunakan Morka untuk masuk. Wanita tua itu menaiki sebuah tangga lain yang terhubung dengan pintu keluar menuju halaman belakang. Usai berada pada anak tangga pertama, wanita itu lantas membuka pintu. Morka berlari, berusaha menggapai wanita tua itu. Namun, Morka terlambat. Pintu itu langsung tertutup tepat di hadapannya.

Hening beberapa saat. Morka mematung di tempat, mengatur laju napasnya yang berantakan. Degup jantungnya kian berdetak tidak karuan begitu mendengar suara dari luar. Morka bisa menebak dan ia yakin kalau tebakannya tidak akan salah. 

Wanita tua itu terdengar sedang menggali tanah di luar sana. 

Morka berusaha membuka pintu dengan membabi-buta, tetapi pintu itu tidak kunjung terbuka. Morka tidak mengerti, padahal baru saja wanita tua itu membukanya dan menutupnya kembali tanpa dikunci. Morka mulai menenangkan diri, lalu ia terbelalak saat melihat gembok yang terkunci pada gagang pintu. Bocah itu segera menoleh ke sana-ke mari, mencari keberadaan kunci yang mungkin digantung oleh ayahnya pada tautan di dinding. 

Begitu menemukan sekelompok kunci, Morka naik ke atas sebuah meja kecil, lalu mengambil kunci-kunci itu. Tidak peduli pada barang-barang di atas meja yang berjatuhan, bahkan pecah. Tujuan Morka adalah mengambil kunci itu. Satu per satu, Morka mencobanya untuk membuka gembok. Kepanikan mulai melandanya tatkala suara galian itu terdengar kian mengeras, sedangkan Morka belum menemukan kunci yang sesuai untuk gemboknya. 

Morka langsung mendorong pintu begitu ia berhasil membuka gembok. Setelahnya, anak laki-laki itu menjerit histeris. Ia ingin segera berlari, tetapi gravitasi di bawah kakinya terasa menariknya begitu kuat, membuatnya tidak bisa bergerak. Sebuah wajah cokelat tanpa daging, lengkap dengan taburan larva, kian mendekat. Teriakan keras Morka teredam. Tubuh anak itu menegang sewaktu wajah menjijikkan itu benar-benar menempel pada wajahnya. Kesadaran Morka perlahan menguap begitu kulit wajahnya merasakan tekstur lembek dan sensasi menggelikan yang diciptakan oleh pergerakan larva-larva. 

Sebelum kesadaran Morka benar-benar hilang, seseorang menariknya. Morka bisa melihat pintu di hadapannya tertutup begitu pemilik wajah menjijikkan itu hendak meraihnya. Setelahnya, hanya ada kegelapan dan Morka tidak bisa merasakan apa pun. Tubuh Morka terkulai dan terlihat begitu pasrah ketika seorang anak perempuan menyeretnya hingga ke tengah ruangan. 

"Morka?" 

Morka mengerjapkan mata. Ia membuka mata dan pandangannya mengabur. Kepalanya terasa begitu sakit. 

"Morka, apa yang terjadi? Kenapa kau tidur di sini?" 

Morka tahu, Magenta mencemaskannya. Ia hanya tidak menyangka kalau misi pencarian Auva demi mendapatkan obatnya akan berakhir seperti ini. Memori semalam kembali terlintas. Pikiran Morka seolah diambil alih oleh sesuatu yang tidak dapat dijelaskan, lalu membawanya untuk kembali bertemu dengan sosok itu lagi. 

Magenta membantu Morka berdiri. Ia tidak mengerti apa yang kali ini menjadikan putranya tertidur di ruang bawah tanah. Magenta membawa Morka untuk kembali ke atas. Saat keduanya berjalan, fokus Morka kembali tertuju pada cangkul di sudut ruangan. Segalanya tiba-tiba menjadi hening. 

Suara gesekan itu perlahan kembali terdengar. 

Magenta pun memalingkan wajah Morka dari cangkul itu. 

[]

MORKA [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang