Bab 6: Sebuah Kalung

23 6 0
                                    

Magenta membuka lembar demi lembar buku dan berhenti pada lembar yang dituju. Tulisan pembagian yang tercetak tebal dan berukuran lebih besar dari tulisan lain, terpampang di bagian paling atas pada halaman itu. Magenta mengusap lembar itu beberapa kali sambil sedikit menekan tangannya sebagai upaya agar buku yang cukup tebal itu tidak tertutup lagi. 

"Bagaimana, Morka? Apa kau sudah memahami ini?" 

Morka mengangguk. Ia baru saja menyelesaikan satu video berisi penjelasan materi, sesuai dengan halaman yang dibuka oleh ibunya. 

Melihat reaksi putranya, Magenta ikut mengangguk kecil. Ia kembali membuka lembaran buku dan berhenti begitu matanya menangkap judul latihan soal pada halaman tersebut. Setelahnya, Magenta menggeser buku itu agar berada tepat di hadapan Morka. Lalu, ia meraih pensil dan meletakkannya tepat di tengah-tengah buku yang terbuka.

"Kalau begitu, coba kerjakan ini!" pinta Magenta. Morka segera meraih pensil. Baru saja ia hendak menuliskan jawaban, tetapi Magenta menyela dengan meletakkan selembar kertas kosong di hadapannya. 

Morka mengernyitkan kening. Ia mengambil kertas kosong itu, menatapnya sejenak. Bayang-bayang sekelompok orang yang tengah menebang pohon, tiba-tiba saja muncul, membuat Morka menggelengkan kepala. Anak itu berusaha untuk fokus, tetapi ia masih tidak mengerti mengapa ibunya menyodorkan kertas kosong ini. Tanpa berpikir panjang lagi, Morka menyingkirkan kertas itu, meletakkannya di samping buku, dan langsung menuliskan jawaban dari soal-soal itu secepat kilat. 

Magenta terbelalak. 

"Aku sudah menjawabnya, Ibu. Apakah jawabanku benar?"

Magenta masih membatu. Ia memandang deretan jawaban yang ditulis oleh Morka, menyaksikan begitu sempurnanya jawaban anak itu. Semua jawaban memang tidak ada yang salah, tetapi hal itu justru menciptakan kesalahan tersendiri. Usai puas melihat jawaban-jawaban itu, Magenta menatap lekat putranya. Morka turut menatap sang ibu, menunggu wanita itu untuk bersuara. 

Sementara itu, Magenta sendiri tidak tahu harus memulai dari mana. Ia sangat paham betul bahwa putranya pasti bisa mengerjakan setiap soal dengan benar, tetapi bukan seperti ini caranya. 

"Morka," panggil Magenta usai membiarkan keheningan menguasai selama nyaris tiga menit. 

Morka tidak menjawab. Ia tahu bahwa ucapan ibunya masih akan berlanjut. 

"Kau tidak bisa menjawabnya seperti ini," lanjut Magenta. 

"Kenapa, Ibu? Apa ada yang salah dengan jawaban itu?" tanya Morka. Ia sendiri sebetulnya merasa bahwa jawaban itu sudah benar. 

Magenta menggeleng. 

"Ibu tahu kalau kau sudah mengetahui jawabannya. Tapi Morka, kau tidak bisa seenaknya menjawab. Kau memerlukan bukti berupa cara atau proses untuk mendapatkan jawaban supaya orang lain bisa mempercayai kebenaran dari jawaban itu," jelas Magenta. Morka diam, menyimak sambil menerka mengenai alasan dari penjelasan ibunya. 

Melihat putranya tidak bereaksi, Magenta pun menghela napas. Lantas, ia melanjutkan, "Sama seperti dalam kehidupan. Kau tidak bisa seenaknya mengklaim, menilai, atau menyatakan sesuatu tanpa adanya sebab, alasan, dan bukti." 

Morka mulai mengerti. Perkataan ibunya amat sesuai dengan kejadian tiga tahun yang lalu. Saat itu dirinya membuat kekacauan, mengundang perhatian dan kedatangan banyak orang, lalu berakhir dengan menciptakan kemarahan ayahnya. Meski demikian, Morka tahu bahwa Magenta pada waktu itu pun mengerti yang sebenarnya. Kala itu, Morka tidak benar-benar membuat keributan, justru ia berhasil memecahkan teka-teki yang telah terlupakan selama puluhan tahun. Namun, sebelum itu, Morka juga tidak akan melupakan bagaimana Magenta enggan percaya jika saja Morka tidak berhasil menguak sebuah bukti. 

MORKA [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang