"Rumah sakit?"
Morka mengedarkan pandangannya. Beberapa orang terlihat berlalu-lalang di pelataran rumah sakit ini. Kemudian, Morka melirik, sedikit menolehkan kepalanya ke belakang. "Menurutmu?"
"Apakah Ibuku sedang sakit?" Auva yang bertengger di punggung Morka kembali bertanya.
Lagi, Morka mengawasi sekitar sebelum merespon pertanyaan Auva. Ia hanya tidak ingin orang-orang itu memergokinya dan menganggapnya anak yang tidak waras, karena terlihat berbicara sendirian.
"Tidak, Ibumu tidak sedang sakit, Auva."
"Wah, jadi Ibuku seorang dokter, ya?"
Morka tidak menjawab. Ia melangkahkan kakinya, masuk ke dalam, melewati lobi, dan mulai menyusuri lorong. Morka tidak yakin dirinya masih ingat dengan seluk-beluk rumah sakit ini. Namun, sepasang matanya sangat berguna untuk meninjau ulang segalanya. Remaja itu berjalan dari koridor ke koridor lain, seakan dirinya sudah seringkali berkelana di rumah sakit ini. Setibanya di tempat tujuan, Morka pun berhenti.
Auva turun dari bahu Morka. Kemudian, ia mulai melayang, mendekatkan tubuhnya ke kaca. Sepasang matanya berbinar begitu melihat belasan tubuh-tubuh mungil yang berbaring dan menggeliat pelan di dalam ruangan itu.
"Auva, tetap di sini dan jangan macam-macam, ya!"
Auva mendengus. Ia menjauh dari kaca ruangan dan menegakkan tubuh di dekat Morka.
"Jadi, di mana Ibuku?"
Morka masih belum berniat untuk menjawab. Sepasang matanya sibuk memindai tempat yang tampak amat familiar ini. Bayang-bayang suster yang tengah menggendong bayi perlahan muncul. Suster itu melintas di koridor ini, hendak menuju ruangan bayi. Namun, suster itu berhenti tatkala seorang petugas rumah sakit menyapanya. Kedua orang itu berbincang, hingga bayi dalam gendongan si suster menangis keras. Melihatnya, Morka benar-benar merasa deja vu.
Morka kembali melihat saat-saat dirinya dilahirkan dan membuka mata di dunia untuk pertama kalinya.
Pandangan Morka terus menelusuri kilas balik sewaktu dirinya baru saja lahir. Hingga tiba-tiba Morka mendapati sepasang mata putih menatap ke arahnya. Bibir pucat kehitaman perlahan tertarik hingga ke sudut, lalu terbuka, dan menampakkan lubang hitam yang seolah akan menghisap siapa pun yang melihat ke dalamnya.
Morka sontak kembali terlempar pada kenyataan.
"Morka, kenapa kau diam saja?"
Morka duduk berlutut, mensejajarkan tinggi badannya dengan tinggi badan Auva. Ia mengulurkan tangan, menggenggam kedua bahu anak perempuan itu. Beruntung, tidak ada siapa pun yang melintas di koridor ini. Jadi, Morka tidak perlu merasa khawatir kalau-kalau seseorang melihatnya dan menganggapnya sebagai anak yang aneh. Namun, sepertinya Morka melupakan seorang pria yang sedang duduk di suatu ruangan, memandang aneh Morka yang terekam oleh kamera CCTV.
"Kita tunggu Ibumu di sini, Auva. Seharusnya, dia masih di sini."
Auva mengernyit. Morka tersenyum, memandang lekat sahabat kecilnya. Ia memindai setiap inci wajah Auva, seakan ia tidak akan pernah bisa untuk melihat wajah polos anak itu lagi.
Mendadak, Morka merasakan angin berembus dari sisi kirinya. Morka sontak menoleh dan matanya langsung bertemu tatap dengan sosok wanita di sudut lorong.
Wanita itu sama sekali belum berubah sejak terakhir kali Morka melihatnya.
Morka terpaku, tidak berkedip, dan wanita itu tiba-tiba terlihat sedang berbaring di ruang rawat. Wanita itu menangis sambil memanggil-manggil nama seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
MORKA [Selesai]
HorrorSeorang pria berpakaian kusut, 31 tahun, sedang meratapi kehidupan sambil menikmati senja. Seorang anak perempuan yang entah sejak kapan tiba-tiba muncul, menarik perhatiannya. Anak perempuan itu berkata bahwa ia sedang menunggu sahabatnya. Pria itu...