Kilat-kilat cahaya itu bergerak perlahan, menembus lapisan terluar dari bola cokelat itu. Kemudian, kilatan cahaya itu bergerak melewati rajutan-rajutan halus cokelat yang lebih terang, menuju sebuah lingkaran gelap. Lingkaran gelap itu seketika memuai begitu kilatan cahaya berhasil memasukinya. Semuanya terlihat bergerak lambat, sampai Morka mendapati bayangan wajahnya di dalam ceruk indera penglihatan itu.
"Morka?"
Tubuh Morka sedikit tersentak ke atas, membawa kembali kesadarannya. Bocah itu mengerjap. Pandangannya perlahan mengecil, hingga ia bisa melihat keseluruhan wajah sang ibu yang memandangnya penuh tanda tanya. Morka mengalihkan tatapannya. Ia mendapati hidangan makanan tertata rapi di meja. Seketika, ia menyadari semuanya.
Tentang ibunya yang menuju kamar Morka dengan tergesa-gesa, menyusui, mengganti popok, dan menidurkan Morka.
Tentang anak perempuan yang memperkenalkan dirinya sebagai Auva.
Lalu, semuanya mendadak menghilang. Magenta datang dan membawa Morka keluar, hingga anak itu kini tidak menyadari entah kapan dan bagaimana dirinya sudah duduk di atas kursi meja makan.
Magenta masih memandang putranya. Ia semakin tidak mengerti tatkala mendapati anak itu yang saat ini masih terdiam. Morka tampak menekuri hidangan makanan yang baru saja Magenta sajikan. Baru saja Magenta akan berbicara, tetapi denting bel yang terdengar menginterupsinya. Magenta hendak beranjak menuju pintu, tetapi Morka tiba-tiba menggenggam lengannya, menahan wanita itu.
"Biar aku saja yang membuka pintunya, Ibu."
Magenta tidak menjawab. Ia hanya diam, membiarkan Morka turun dari kursi meja makan dan berjalan menuju pintu. Sesampainya di sana, Morka mengangkat tangan guna meraih knop pintu yang terpasang lebih tinggi darinya. Seorang pria berdiri menjulang tinggi begitu Morka membuka pintu. Morka mendongak. Sesuai dugaannya, pria itu adalah Wilis, ayahnya.
Wilis terlihat begitu kacau. Kemeja putihnya tampak kusut. Sebuah jas hitam tersampir di bahu kanannya. Pria itu masih berdiri di tempat, mencengkeram kuat sebuah tas hitam, dan menajamkan tatapannya ke arah Morka.
"Minggir kau, bodoh!"
Sesuai dugaan Morka, sang ayah pasti akan membentaknya, lengkap dengan umpatan andalannya. Morka sontak menepi, memberikan jalan untuk sang ayah. Wilis langsung melangkah masuk dengan cepat. Morka segera menutup pintu dan menyusul ayahnya. Namun, Morka menahan diri untuk tidak memangkas jarak begitu mendapati Wilis yang membanting tasnya, membiarkan benda hitam itu terlempar ke sembarang arah. Setelahnya, Wilis menarik kasar kursi meja makan dan duduk di atasnya. Buru-buru, Magenta menyajikan teh untuk suaminya. Ia belum sempat melakukannya sebab harus mengurus Morka yang seharian ini membuatnya mengelilingi rumah.
Wilis meraih cangkir teh sesaat Magenta selesai menuangkan teh ke dalamnya. Pria itu tiba-tiba menyemburkan teh yang diseruputnya tatkala lidahnya merasakan sensasi terbakar. Detik berikutnya, cangkir teh itu melayang, lalu pecah ketika menyentuh lantai.
Morka masih berdiri beberapa meter dari kedua orang tuanya. Magenta terlihat belum ingin bereaksi. Ia hanya mematung sambil menunduk. Wilis mengusap mulutnya kasar, lalu mendorong kursi yang ia duduki, menciptakan bunyi gesekan yang memekakkan telinga. Pria itu berdiri, menatap istrinya dengan sorot mata yang menyalang.
"Selain tidak becus menjadi ibu, kau juga tidak becus menjadi istri!" Wilis berteriak. Ia mulai beranjak dari posisi berdirinya, mendekati Magenta, membuat wanita itu berjalan mundur.
Morka reflek berlari ke arah sang ibu sewaktu melihat ayahnya mengangkat tangan tinggi-tinggi. Anak laki-laki itu berdiri di depan ibunya, membentangkan tangan, menjadi benteng kecil untuk ibunya. Melihat hal itu, Wilis pun tertawa. Ia menurunkan tangannya dan mendekatkan wajahnya pada Morka.
KAMU SEDANG MEMBACA
MORKA [Selesai]
TerrorSeorang pria berpakaian kusut, 31 tahun, sedang meratapi kehidupan sambil menikmati senja. Seorang anak perempuan yang entah sejak kapan tiba-tiba muncul, menarik perhatiannya. Anak perempuan itu berkata bahwa ia sedang menunggu sahabatnya. Pria itu...