Prolog

198 7 0
                                    

Pria itu bersandar pada pagar pembatas jembatan, menatap pantulan bayangan matahari yang mulai meredup pada air sungai. Pria itu meneguk habis minuman soda kaleng dan membuangnya ke sungai, tanpa mempedulikan papan berkarat yang bertuliskan dilarang membuang sampah ke sungai. Pandangan pria itu mengarah pada kaleng soda yang bergerak mendekati tumpukan sampah di tepi sungai. Ia sama sekali tidak merasa heran dengan kebiasaan orang-orang di tempat ini, tidak terkecuali dirinya sendiri. Setiap pagi, orang-orang itu berjalan keluar dari rumah dengan sekantung plastik sampah di tangan-tangan mereka. Lalu, mereka membuang benda itu ke sungai.

Pria itu menyalakan korek gas dan membiarkan api membakar ujung rokoknya. Ia memasukkan korek gas ke dalam saku celananya, menarik rokok keluar dari mulutnya, dan mengembuskan asap putih sembari mendongak ke atas. Sepasang matanya tertuju pada semburat merah di ufuk barat yang kian meredup, perlahan mulai tergantikan dengan kegelapan. Pria itu membalikkan badan, menyandarkan tubuh belakangnya pada pagar pembatas jembatan. Ia memindai beberapa orang yang masih berlalu-lalang sambil menikmati hisapan rokoknya. Suasana kian sepi tatkala kegelapan mulai memeluk bentala bagian negeri ini. Pria itu menghunuskan ujung rokok pada pagar pembatas jembatan, mematikan api, dan membuang batang rokok yang tersisa setengah itu ke sungai. Ia bisa melihat ujung batang rokok itu terkikis, membuat air sungai kian tercemar. Pria itu hendak kembali ke rumahnya se-segera mungkin, tetapi ada sesuatu yang menarik perhatiannya.

Sambil menekuk lengan kemeja hitamnya, pria itu melangkah, mendekati seorang gadis kecil yang duduk di atas pagar pembatas jembatan. Gadis kecil itu terdengar menggerutu. Pria itu merasa bahwa tadi ia terlalu asyik menikmati senja di lingkungan kumuh ini, sehingga ia tidak tahu sejak kapan anak perempuan itu sudah berada di sana. Anak perempuan itu memicingkan mata sewaktu merasakan kehadiran si pria yang mendekatinya.

"Kau anak senja, ya?"

Anak perempuan itu terlihat risih. "Jangan samakan aku dengan anak-anak senja itu. Aku tidak se-dramatis mereka."

Si pria terperangah. Ia berdeham sejenak dan bersuara, "Lalu, kalau bukan anak senja, apa sebutan untuk seorang anak yang sedang duduk menikmati senja?"

"Aku tidak sedang menikmati senja, bodoh!"

Si pria terkekeh. Ia tidak merasa heran, apalagi tersinggung atau sakit hati sewaktu mendengar umpatan gadis kecil itu. Telinganya justru sudah sangat familiar dengan setiap jenis umpatan yang dilontarkan oleh anak-anak di sini.

"Lalu, kenapa kau di sini? Ibumu pasti sedang mencarimu."

Gadis kecil itu tidak menjawab. Si pria ikut terdiam selama beberapa saat, sebelum kemudian melanjutkan ucapannya, "Kau tahu, 'kan? Anak yang tidak pulang ke rumah ketika hari sudah petang, dia akan diculik oleh wewe gombel."

Anak perempuan itu menoleh, menatap si pria dengan dahi berkerut. "Apa itu wewe gombel?" tanyanya.

Si pria menyangga kepala dengan sebelah tangannya. Ia sedikit memajukan bibir sambil mengarahkan bola matanya ke atas, menunjukkan ekspresi berpikir keras. Kemudian, ia kembali melihat ke arah anak perempuan itu seraya berujar, "Ibuku bilang, dia sejenis hantu."

Mendengarnya, gadis kecil itu mencebik. Ia mengalihkan pandangannya ke arah air sungai. "Aku tidak percaya dengan hal seperti itu. Bahkan, sekalipun itu benar, tidak ada hantu mana pun yang bisa menculikku," tukasnya.

"Sombong sekali! Harap-harap, wewe gombel benar-benar menculikmu, supaya kau tahu bagaimana rasanya."

Keduanya lantas menutup mulut. Si pria mengarahkan tatapannya pada si anak perempuan. Lensa cokelat milik anak itu terfokus pada rembulan yang entah kapan sudah memunculkan diri di atas sana. Pria itu turut melayangkan tatapan ke atas, menyaksikan rembulan yang begitu mulus, jauh berbeda dengan wujud aslinya.

"Kau belum menjawab pertanyaanku," ujar si pria, memecah keheningan. Kini, ia memusatkan perhatiannya pada si gadis kecil.

"Memangnya kau bertanya?" Gadis kecil itu menyahut ketus, tanpa mengalihkan sedikit pun indera penglihatannya dari rembulan.

Pria itu mendengus. "Sedang apa kau di sini?" tanyanya kesal.

Anak perempuan itu menoleh, memandang si pria dengan tatapan mengejek. Ia menaikkan sebelah alisnya sambil menjawab, "Menunggu wewe gombel yang katamu tadi akan menculikku."

Anak perempuan itu terpingkal-pingkal setelahnya. Ia terlihat begitu puas menyaksikan raut jengkel pria di sebelahnya. "Tidak, tidak. Aku sedang menunggu sahabatku," sambungnya.

Keduanya kembali terdiam. Masing-masing sibuk mengamati riak air sungai yang menggenang tersumbat sampah. Aroma busuk yang tidak pernah sekalipun angkat kaki, kini tercium kian menguat.

"Kurasa, sahabatmu tidak akan datang. Ini sudah malam." Pria itu membuka suara dan menoleh, bersamaan dengan si anak perempuan yang juga menoleh ke arahnya. Pasang mata cokelat keduanya bertemu untuk beberapa detik, lalu si pria bisa melihat kedua sorot di hadapannya berubah menjadi sendu.

"Dia pasti akan datang. Dia sudah berjanji padaku," ucap anak perempuan itu, masih menatap lekat si pria dengan netra yang mulai berkaca.

"Menurutku, dia tidak akan datang. Dia pasti takut diculik oleh wewe gombel." Si pria membalas, lalu ia tertawa terbahak-bahak. Anak perempuan di sebelahnya membuang pandangan. Ia menatap lesu air keruh sungai sambil mendengar alunan tawa tidak mengenakkan dari si pria. Tidak lama, pria itu terbatuk sambil menepuk-nepuk dadanya. Alih-alih berhenti, pria itu justru melanjutkan tawanya. Ia merasa begitu puas, karena telah berhasil menimpali balik lawannya.

Tawa pria itu seketika lenyap sewaktu telinganya menangkap isak tangis dari si anak perempuan. 

"Apa dia tidak akan datang?" tanyanya, terdengar amat memilukan.

"Apa dia tidak akan datang?" Gadis itu kembali bertanya, masih dengan suara pilunya. "Apa penantianku selama ini sia-sia?"

Suara pilu itu terasa begitu menusuk di dada si pria, meninggalkan rasa sakit yang menyeruak, melebar, dan mulai mencabik di dalam sana. Pria itu secara spontan mengetuk pelan dadanya. Mendadak, ia merasa bersalah. Bagaimana pun juga, anak perempuan ini adalah anak kecil. Pria itu menebak bahwa usianya tidak lebih dari tujuh tahun. Tidak sepatutnya, pria yang sudah menginjak kepala tiga sepertinya mengejek seorang anak kecil, hingga membuatnya menangis.

"Kalau begitu, aku akan melompat saja!"

Anak perempuan itu tiba-tiba melompat, nyaris membuat si pria mati di tempat jika saja ia terlambat menangkap tubuh gadis kecil itu. Ia menenggak salivanya lamat-lamat sewaktu pikiran negatif melintas di pikirannya. Pikiran negatif itu terpantul di penglihatannya dengan wujud anak perempuan yang mengambang tanpa nyawa di bawah sana.

Pria itu menggelengkan kepala, menghapus pikiran buruknya. Ia menguatkan pegangannya tatkala si anak perempuan meronta hebat. Ia meraung-raung, berusaha melepaskan diri, bagai orang kerasukan. "Lepaskan aku! Lepaskan aku! Biarkan aku melompat!" pekiknya.

"Dengar, dengarkan aku dulu!" Si pria meninggikan suara dan itu berhasil membuat si anak perempuan berhenti bergerak. Tampaknya, ia memilih untuk mendengarkan si pria tanpa menghentikan tangisnya.

"Aku hanya bercanda, bocah! Sahabatmu itu pasti akan datang. Lagipula, kau bilang, dia sudah berjanji, 'kan?"

"Benarkah?" Gadis kecil itu mendongakkan kepala, membuat wajah keduanya berhadapan. Anak perempuan itu memamerkan mata sembab dengan sorot yang berkaca-kaca. Air matanya tetap mengalir, meski tangis anak itu sudah mereda. "Apa dia benar-benar akan datang? Apa dia akan menepati janjinya?" tanyanya bertubi-tubi.

Pria itu mengangguk. Ia mengeratkan pegangannya, mendekap gadis kecil itu. Ia meletakkan dagunya di atas kepala si anak perempuan, merasakan tekstur lembut rambut yang di luar dugaannya terasa begitu dingin. Pria itu kembali menatap rembulan dengan bentuk lingkaran sempurnanya, lalu ia berucap, "Sambil menunggu sahabatmu, bagaimana kalau kuceritakan sesuatu?"

Pria itu bisa merasakan gadis kecil dalam dekapannya mengangguk. Ia pun tersenyum. Tanpa mengalihkan tatapannya dari rembulan, pria itu pun mulai bercerita.

[]

MORKA [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang