Bab 9: Halaman Belakang Rumah

23 6 0
                                    

Tidur siang Morka kali ini jauh lebih lama daripada sebelumnya. Seakan mengerti dengan rasa takut yang menciptakan kelelahan berlebihan pada tubuhnya, alam bawah sadar Morka menuntun dirinya untuk terlelap lebih lama. Morka mengerjapkan mata, lalu menguceknya beberapa kali. Kemudian, Morka mengangkat tangannya, menarik tubuhnya sembari menggeliat pelan. Masih dalam posisi tidur terlentang, bocah itu menatap lekat langit-langit rumahnya di tengah kegelapan. Entah pukul berapa sekarang, tetapi Morka yakin bahwa dirinya terbangun disaat mayoritas manusia justru sudah terpejam saat ini.

Sambil mengabaikan ekspresi-ekspresi aneh di atas sana, pikiran Morka kembali menayangkan serangkaian hal yang terjadi sebelum dirinya tertidur panjang. Seorang wanita tua, mayat bocah laki-laki, air bercampur darah, hingga kedatangan Magenta yang mengembalikan Morka pada kenyataan. Berikutnya, Morka tahu-tahu terbangun sewaktu malam telah menyelimuti bagian bumi tempatnya berpijak.

"Morka, kau sudah bangun?"

Pertanyaan itu sontak membuat Morka bangkit dari posisi tidurnya. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan, tetapi sosok yang ia cari sama sekali tidak terlihat. Morka beringsut turun dari ranjang, lalu ia bergerak mendekati nakas. Morka membuka laci nakas itu. Ia tidak mendapati obatnya.

Artinya, Auva belum mengembalikannya.

Morka menggeram. Kali ini, ia tidak ingin bermain-main. Ia benar-benar muak dengan anak perempuan itu.

"Auva, di mana pun kau, cepat kembalikan obatku!" teriak Morka.

Tidak ada jawaban dan bocah itu mulai kesal ketika ekspresi-ekspresi aneh yang melayang-layang di udara menertawakan dirinya.

"Kau tidak akan mendapatkan obatmu sebelum kau menemukanku!"

Seruan Auva kembali terdengar setelah beberapa saat. Sungguh, Morka tidak ingin lagi peduli pada obatnya, karena ia tahu bahwa obat itu sama sekali tidak bekerja. Namun, ia tidak ingin membuat ibunya kecewa.

Juga ayahnya.

Morka tidak tahu kapan ia akan menjadi anak yang normal. Bocah itu mulai tenggelam dalam angan, membayangkan Wilis datang padanya dengan senyuman, memeluknya, dan menggendongnya.

"Aku masih di tempat yang sama!" 

Seruan Auva membuyarkan angan Morka. Bocah itu mendengus. Ia terdiam sejenak, meresapi angan yang masih tersisa di pikirannya. Morka ingin, suatu saat nanti, sang ayah akan menyayanginya. Maka dari itu, Morka segera bergegas keluar dari kamar. Ia berjalan, menembus kegelapan, menuju ruangan yang selalu dihindarinya sejak kejadian itu.

Morka menuruni anak tangga dengan langkah yang pelan. Ia mengedarkan seluruh pandangan, menyaksikan berbagai warna mata-mata yang menatap lekat ke arahnya. Kali ini, Morka tidak menyalakan lampu. Ia bisa melihat segalanya dengan jelas di sini, meski Morka tidak memungkiri bahwa terangnya lampu akan sangat membantunya. Namun, Morka hanya tidak ingin jika kemudahannya dalam melihat akan kembali membawanya masuk pada masa lalu yang begitu dihindarinya.

Usai merasa bahwa dirinya berada di tengah-tengah ruangan, Morka memutar tubuhnya, mengamati lekat-lekat, tidak melewatkan satu jengkal pun dari ruangan ini. Tiba-tiba, lampu menyala begitu saja dan tatapan Morka tertuju pada sebuah cangkul. Morka sontak membelalakkan kedua mata. Ia mengalihkan penglihatannya, tetapi bocah itu merasa bahwa dirinya sudah terlambat.

Suara gesekan itu kembali terdengar.

Disusul oleh derap langkah kaki.

Morka tidak lagi mendapati cangkul itu berada di tempatnya. Ia berbalik, menyaksikan wanita tua yang familiar tengah berjalan pelan sambil menyeret cangkul itu. Kali ini, wanita tua itu tidak hanya sekedar menyeret cangkul, tetapi juga menggendong seorang bocah laki-laki di punggungnya.

MORKA [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang