Matahari sudah meninggi sewaktu Morka menyelesaikan home schooling-nya. Morka membereskan perlengkapan tulisnya, lalu ia beranjak menuju ruang makan. Ia melihat sang ibu yang kelihatannya tidak pernah beranjak dari dapur. Seperti kemarin, Magenta menemani Morka belajar, mengajarkannya, atau lebih tepatnya membuat Morka bisa mengerjakan soal-soal latihan tanpa menggunakan kemampuan istimewanya.
Meski demikian, tidaklah mudah bagi Morka untuk tetap fokus. Bayang-bayang Magenta yang mengundang seorang pemuka agama ke rumah, kembali merenggut kesadaran Morka. Bocah itu pun lantas terbawa oleh arus masa lalu. Kemudian, kedatangan Wilis, sang ayah, menjadi akhir buruk yang mampu menyentak kesadaran Morka untuk kembali pada kenyataan.
Setelah Magenta yakin bahwa Morka bisa mengerahkan seluruh perhatian pada kenyataan bahwa bocah itu sedang belajar, Magenta pun kembali berkutat di dapur. Ia membunuh waktu dengan membuat kue dalam berbagai macam bentuk sambil sesekali mengawasi Morka, memastikan anak itu tetap belajar di ruang tengah dan tidak ke mana-mana.
Morka memperhatikan toples-toples kaca yang berisi aneka ragam bentuk kue. Ia meraih salah satu di antaranya, membukanya, dan mengambil isinya. Morka menggigit kue berbentuk bintang itu, merasakan tekstur renyah, dan rasa manis mulai memenuhi indera pengecapnya. Bagaikan candu, Morka terus mengambil dan memakan kue itu. Sambil terus mengunyah, Morka mengamati bayang-bayang yang menayangkan adegan bagaimana kue-kue itu tercipta dengan sempurnanya di tangan sang ibu. Bayang-bayang itu seketika menghilang begitu Morka merasa kerongkongannya begitu kering. Detik itu pula, ia menyadari bahwa ia telah menghabiskan setengah dari isi toples. Morka menutup toples dan mendorongnya menjauh.
Baru saja bocah itu berniat untuk mengambil air, Magenta tiba-tiba menyodorkan segelas air, seakan peka dengan kondisi putranya. Morka langsung mengambil gelas itu dan menenggak isinya sampai habis. Magenta terkekeh melihat putranya yang menghabiskan air dengan cepat. Morka menyengir ke arah sang ibu yang tertawa kecil usai meletakkan gelas kosong di atas meja.
"Kau suka dengan kuenya?" tanya Magenta. Posisi wanita itu kini membelakangi Morka, sibuk menumis sayur.
Morka secara reflek mengangguk yang tentu tidak bisa dilihat oleh Magenta. Namun, untuk memastikan bahwa sang ibu mengetahui responnya, Morka pun segera menyahut, "Kue-kue buatan Ibu memang yang terbaik."
Sambil mematikan kompor, Magenta tersenyum begitu mendengar respon dari Morka. Ia lantas memindahkan sayur yang ditumisnya ke atas piring. Kemudian, Magenta membawa piring itu dan meletakkannya di atas meja. Kepulan-kepulan asap yang menyeruak ke udara, menguarkan aroma harum. Morka tanpa sadar mencondongkan tubuhnya ke depan. Bocah itu menghirup dalam-dalam asap hangat itu, menyerap harumnya aroma makanan, menciptakan riak-riak perih di lambungnya.
Morka kembali memundurkan tubuh ketika Magenta datang membawa nasi. Usai mengambil tempe goreng dan turut meletakkannya di atas meja, Magenta ikut duduk, berhadapan dengan Morka. Seperti kebiasaannya, wanita itu segera menyajikan nasi beserta lauk di atas piring dan menyerahkannya kepada Morka. Kemudian, ia melakukan hal yang sama untuk dirinya sendiri.
Keduanya lantas segera melahap makan siang, dibalut dengan obrolan ringan antara ibu-anak. Morka selalu merasa senang dengan momen-momen seperti ini, meski tetap saja ia merasa kurang tanpa kehadiran sang ayah. Bagian yang paling menyedihkan adalah Morka tahu bahwa sang ayah tidak akan pernah sudi untuk satu meja makan dengan dirinya.
"Setelah ini apa?" tanya Magenta tiba-tiba, memutus topik acara kartun yang semula tengah menjadi pembahasan.
Morka menelan kunyahannya sambil mengernyitkan dahi. Ia menatap lamat-lamat ibunya, lalu menjawab, "Tidur siang."
Magenta hendak menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya, tetapi ia mengurungkan niat begitu mendengar jawaban Morka. Wanita itu menggeleng. Sendok di tangannya menggantung di udara.
KAMU SEDANG MEMBACA
MORKA [Selesai]
HorrorSeorang pria berpakaian kusut, 31 tahun, sedang meratapi kehidupan sambil menikmati senja. Seorang anak perempuan yang entah sejak kapan tiba-tiba muncul, menarik perhatiannya. Anak perempuan itu berkata bahwa ia sedang menunggu sahabatnya. Pria itu...