"Terima kasih, Morka. Kau anak yang sangat pemberani."
Morka tersenyum. Elusan lembut di pipinya beralih dengan belaian yang mengacak rambutnya. Pria berseragam itu kini memandang Magenta, lalu ia kembali melanjutkan, "Terima kasih juga, Bu Magenta, atas kerjasamanya."
"Sama-sama, Pak." Magenta membalas, lalu wanita itu menerima jabatan tangan dari sang polisi.
Berikutnya, polisi itu memberikan senyum terbaiknya kepada Morka sebelum tubuhnya masuk ke dalam mobil. Magenta mengajak Morka masuk ke dalam rumah usai mobil polisi itu tidak terlihat. Beberapa tetangga yang masih berdiri di depan rumah, menyoraki Morka dengan pujian. Magenta menengok dan membalas pujian itu dengan senyuman. Sementara itu, Morka tersenyum kecut tanpa menoleh. Selama tujuh tahun hidupnya, orang-orang itu pada akhirnya memujinya, tanpa melihat betapa mengerikan kejadian dibalik semuanya.
Magenta menutup pintu. Ia hendak menuntun Morka untuk kembali ke kamar. Anak itu pasti lelah setelah menghabiskan hari di kantor polisi untuk memberikan kesaksian. Namun, langkah Magenta terinterupsi oleh ponselnya yang berdering. Magenta segera mengangkat telepon itu. Setelahnya, meski pengeras suara tidak diaktifkan, Morka bisa mendengar cacian familiar yang dilontarkan oleh Wilis.
"Aku tidak akan pulang ke rumah hari ini. Memalukan!"
Berikutnya, sambungan telepon ditutup secara sepihak oleh Wilis.
Magenta menatap hampa ponsel di tangannya selama beberapa saat, membiarkan layar benda itu menghitam dengan sendirinya. Magenta berdeham usai kesadaran kembali menguasai jiwanya. Ia tersenyum kepada Morka, lalu mengajak anak itu untuk pergi ke kamar.
"Beristirahatlah, Sayang," ujar Magenta. Ia mengecup kening Morka dan pergi meninggalkan kamar.
Morka tahu bahwa hari sudah sore dan ia tidak mungkin tidur, tetapi berbaring di ranjang cukup untuk mengistirahatkan tubuhnya. Meski demikian, berbaring cukup lama tanpa memejamkan mata membuat Morka merasa tidak nyaman. Ia pun bangkit, mendudukkan dirinya. Morka menatap lurus ke depan. Ranjangnya yang berhadapan langsung dengan jendela, membuatnya leluasa untuk melihat ke luar. Penampakan rumah Banyu terlihat dengan jelas. Morka bisa mendapati garis kuning polisi masih membentang, melingkari rumah yang cukup besar itu.
Pandangan Morka mulai mengabur. Ia mulai merasa sesuatu tertarik perlahan dari kepalanya, membawa jiwanya untuk masuk kembali menuju serangkaian alur di masa lampau. Berikutnya, Morka mendapati dirinya sedang berdiri di dapur, menyaksikan Magenta yang sibuk menata makanan dengan jumlah yang banyak di dalam rantang. Usai menutup rantang, Magenta memberikannya kepada Morka. Bocah itu merasakan beban yang cukup berat di tangannya, menciptakan ringisan dan kerutan di keningnya.
"Morka, kau-."
"Tidak apa-apa, Ibu. Aku bisa melakukannya."
Morka menguatkan pegangannya, lalu ia mulai berjalan menuju pintu. Magenta mengikuti dan membukakan pintu. Morka lantas keluar dari rumah, melangkah pelan menuju rumah Pak Banyu.
Begitu Morka sampai di sana, ia segera meletakkan rantang di lantai dan mengetuk pintu di depannya. Sembari menunggu pintu itu terbuka, Morka mengedarkan penglihatannya, mengamati pelataran rumah Pak Banyu yang luas. Tidak ada pohon atau tanaman apa pun. Hanya ada sebuah mobil sedan hitam yang terparkir di sini.
Usai puas mengamati pelataran rumah, Morka berniat untuk kembali mengetuk pintu. Namun, pintu yang tiba-tiba terbuka menggagalkan niat Morka. Sosok Pak Banyu muncul setelahnya. Pria gempal, berperut buncit itu membetulkan posisi kacamatanya. Tidak ada senyum di wajah Pak Banyu. Pria itu melotot ke arah Morka dan bertanya, "Ada apa?"
"Saya Morka, Pak, tetangga yang tinggal di rumah sana," ujar Morka, memperkenalkan diri sambil menunjuk ke arah rumahnya. Memang, Pak Banyu sudah tinggal di sini selama satu pekan lebih, tetapi Morka dan keluarganya belum pernah berinteraksi secara langsung. Pria ini tampak tidak pernah keluar dari rumah kecuali di pagi hari untuk bekerja dan kembali di sore hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
MORKA [Selesai]
HorreurSeorang pria berpakaian kusut, 31 tahun, sedang meratapi kehidupan sambil menikmati senja. Seorang anak perempuan yang entah sejak kapan tiba-tiba muncul, menarik perhatiannya. Anak perempuan itu berkata bahwa ia sedang menunggu sahabatnya. Pria itu...