Bab 5: Anak Tidak Ber-Ayah

30 6 0
                                    

Seorang pria terlihat mengatur kamera. Usai berhasil mengatur kamera, ia mengacungkan jari jempol kepada seorang wanita yang berdiri di depannya. Kemudian, wanita di depannya tersenyum dan mulai berbicara. Wanita itu melontarkan kalimat-kalimat sapaan dan basa-basi dengan semangat yang menggebu-gebu di depan kamera. Pergerakan wanita itu tiba-tiba menjadi dua kali lipat lebih cepat, disusul oleh pergerakan si pria yang juga sama cepatnya. Pemandangan berganti menjadi garis abu-abu yang dengan cepat terisi oleh warna biru. Berikutnya, tulisan uploaded muncul, memenuhi layar.

"Morka?" 

Kesadaran Morka kembali pada tempatnya. Ia menoleh, mendapati sang ibu yang datang sembari membawa nampan makanan.

Magenta mengambil satu piring berisi roti dari atas nampan dan meletakkannya di atas meja, lalu disusul dengan segelas susu. "Apa kau sudah memulai pelajarannya, Morka?" tanyanya kemudian. 

"Sudah, Ibu," sahut Morka. Sejenak, atensi Morka teralihkan begitu sang ibu datang membawa sarapan untuknya. Anak itu lantas kembali memandang seorang wanita yang sibuk menjelaskan deretan angka pada papan tulis di dalam layar tablet. 

"Baiklah, jangan lupa untuk menghabiskan sarapannya, ya!" pinta Magenta. Morka mengangguk, lalu ia meraih segelas susu dan meneguknya lahap. Melihatnya, membuat Magenta tersenyum. Ia mengacak gemas rambut putranya. "Ibu tinggal dulu, ya. Kalau ada apa-apa, panggil saja Ibu. Mengerti?" lanjutnya.

Lagi, Morka pun mengangguk. 

Magenta lantas beranjak dari ruang tengah menuju dapur. Wanita itu kembali berkutat dengan masakannya sambil sesekali memperhatikan Morka melalui dapur tanpa sekat itu. 

Usai menghabiskan setengah susunya, Morka beralih pada roti dan mulai melahapnya. Sepasang matanya fokus memperhatikan penjelasan di layar gadget dan sebelah tangannya meraih sebuah buku. Morka menggeser buku itu agar berada di hadapannya. Tanpa sengaja, ia menjatuhkan sebuah pensil ketika menggeser buku itu. Morka menatap lekat pensil yang tergeletak di lantai. Ia hendak mengambilnya, tetapi seorang anak mendadak lebih dulu merebutnya.

Opal, bocah laki-laki yang sebaya dengan Morka, tertawa terbahak-bahak. Anak itu menjulurkan lidahnya ke arah Morka, mengejek, lalu ia berseru, "Ambil pensilmu kalau kau bisa!" 

Morka pun mengejar Opal. 

Morka berusaha merebut pensil itu, tetapi Opal berlari lebih cepat darinya. Sekali saja Morka dapat menyamai kecepatan Opal, tetap saja ia tidak bisa merebut kembali pensilnya. Opal mengangkat pensil itu tinggi-tinggi, lalu melemparnya ke arah teman yang lain. Pensil itu dioper ke sana-ke mari, membuat Morka secara spontan mengikuti ke tangan siapa pensil itu mendarat. 

Morka mulai kewalahan, wajahnya memerah. Hampir semua anak di kelas ini menertawakannya. Morka kian merasa geram. Ia berhenti sejenak, mengambil napas dalam. Morka mengumpulkan seluruh tenaganya dan kembali mengikuti ke mana anak-anak usil itu mengoper pensilnya. Morka nyaris mencapai targetnya, tetapi mendadak ia menabrak seseorang. Tubuh Morka oleng. Anak itu berhenti sejenak untuk menyeimbangkan tubuh dan memfokuskan penglihatannya. Tabrakan itu cukup membuat kepalanya pusing. Usai memfokuskan diri, rasa bingung langsung menguasai pikiran Morka. 

Opal menghilang dari pandangannya.

Bukan hanya Opal, tetapi semuanya. 

Bagian terburuknya, Morka menyadari bahwa ia tidak sedang berada di kelas saat ini. 

Bersikap waspada, itulah yang pertama kali Morka lakukan. Ia menengok ke sekeliling, berusaha mengenali tempat dirinya berada saat ini. Namun, Morka sama sekali tidak tahu menahu mengenai gang sempit ini. Sepi, kotor, bau, dan becek. Morka mulai melangkah sambil memperhatikan tumpukan sampah di kanan-kirinya. Langkahnya berhenti tepat di ujung gang. Morka mendapati sebuah bangunan dari batu-bata, menyerupai sebuah rumah yang gagal dibangun, atau memang sengaja tidak dilanjutkan.

MORKA [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang