TUJUH PULUH EMPAT

8.2K 788 144
                                    

"Aamiin" aku mengamini setiap doa yang dilantunkan Mas Garin sebagai tanda ziarah kami akan berakhir.

"Ma, Pa, maaf udah lama nggak kesini, lagi sibuk usaha bikin anak" akuku sambil melihat pelan ke arah Mas Garin di sampingku dengan senyuman, yang ditatap menatapku dengan wajah 'seriously?'.

Aku sudah lama tidak ziarah ke makam. Karena ada banyak kejadian yang membuat aku tidak sempat berkunjung. Kali ini juga ajakan Mas Suami, ia menjanjikan untuk mendatangi pemakaman setelah mendengarkan ceritaku di Bandung kemarin. Mungkin aku terlihat terlalu merindukan mereka sampai Mas Garin berinisiatif mengajakku. Itu pun tidak langsung kemari karena ada beberapa urusan yang harus dilakukan. Juga drama rumah tangga yang sangat padat.

"Begitulah, namanya juga suami istri" lanjutku memghiraukan tatapan Mas Garin "tapi, aku selalu berusaha mendoakan Mama sama Papa tiap sholat, kalian nggak usah khawatir, sekarang aku sama Mas Garin ke sini nggak lagi marahan, kita udah baikan" kali ini aku nggak berniat menoleh padanya, karena aku yakin Mas Garin pasti akan memasang wajah penuh kritikan "Dia suami yang baik seperti terakhir kali aku kasih tau, agak nyebelin sedikit, tapi aku ini cewek kuat jadi tahan-tahan aja" aku menahan tawa.

"Lanjutin" komentarnya dari sebelahku, tidak, aku memunggunginya. Ia sedang mencabuti tanaman yang tumbuh lebih tinggi di antara rumput-rumput.

"Tuh, perhatian, kan, disuruh lanjutin dulu" candaku, melirik Mas Garin sedetik saja.

"Hm."

"Oh iya, Rizky baik, nanti kalau pulang pas nikahan Mbak Saras, aku suruh kesini" tambahku.

Aku ikuti Mas Garin yang sudah lebih dahulu menaburkan bunga di atas makam. Mas Garin berdiri, menaburkan bunga ke makam Papa yang berada di sisi satunya. Tak lupa Mas Garin siramkan air dari kendi yang kami beli di depan makam bersamaan dengan bunga. Ia kembali berdiri di sampingku yang masih berjongkok.

Aku menggerakkan sedikit tubuhku, ingin mengelus nisan Mama "Ma, Pa, kalian tenang aja, aku punya Mama dan Papa mertua yang baik banget" kataku pelan sambil mengelus nisannya. Aku menoleh ke arah Mas Garin saat ia membenarkan kerudungku yang merosot ke belakang "anaknya juga baik" batinku, memberi tahu mereka. Besar kepala nanti Si Mas-nya.

"Udah?" Tanyanya padaku saat mata kami bertemu.

Aku mengangguk, mengiyakan. Ia mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. Aku menggenggam tangannya sebagai bantuan.

"Pamit dulu" pamitku, terakhir.

"Kapan-kapan pakai jepit" katanya sambil membenarkan kerudung segiempat hitamku yang kembali merosot sampai pundak.

"Iya nanti" jawabku, aku menggandeng tangannya sampai kami keluar dari area pemakaman.

Kami berjalan ke arah kran untuk cuci tangan terlebih dahulu sebelum kembali masuk ke dalam mobil.

"Mas" panggilku padanya yang sedang membasuh tangan.

"Hm!"

"Beli ice cream dulu dong? Mau nggak?" Tawarku.

"Dimana?" Tanyanya saat menegakkan tubuhnya "dari tadi siang nggak nemu ice cream yang kamu mau, kita usah seharian di jalan" gerutunya.

Hari ini kami berduaan seharian. Bisa dibilang jalan-jalan. Pagi kami memgantar Ken dengan paksaan karena seperti yang kita tahu, sudah muncul rasa gengsi pada dirinya. Apalagi sudah punya kendaraan sendiri. Tapi tetap berhasil. Tiba-tiba aku teringat mas SMA yang suka jajan ice cream di pinggir jalan dekat dengan SMA-ku dulu. Jadi mataku tidak luput dari setiap penjual di pinggir jalan selama kami dalam perjalanan. Kalau bisa dibilang ini hari kita banyak si jalan. Mulai dari mengantar anak lanang ke sekolah, brunch dan ngopi bareng Mas Garin, mampir di restaurant sebentar, terus ngajak Masnya jalan ke mall. Mumpung orangnya mau kita ajak jalan, dan sampailah disini. Drama terakhir kali cukup menguras tenagaku dan Mas Garin.

My Troublesome HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang