TUJUH PULUH DELAPAN

5.7K 660 73
                                    


Tiga bulan sudah berlalu. Aku dan Mas Garin menjalankan kehidupan kami seperti biasanya. Layakanya suami istri, orang tua dan manusia.

Mas Garin yang fokus dengan bisnis kulinernya, aku yang fokus menjadi ibu rumah tangga sekaligus istri dan ibu yang bertanggung jawab dan Ken yang juga mulai fokus pada pendidikannya. Dia mulai mengikuti beberapa kegiatan yang menarik minatnya. Selain sibuk di rumah, seperti yang Mas Garin janjikan, aku memulai untuk membuat resep kue milikku sendiri. Sudah lama terbengkalai gara-gara masalah kehidupan. Selagi ada waktu senggang aku menggunakan waktuku untuk mencari resep juga trial and error. Tak jarang menjadikan Bi Nar asisten di dapur, menjadikan Pak Yon juri pertama hasil kue buatanku. Aku juga makin sering berkunjung ke rumah Mama dan Papa. Meramaikan rumah tua mereka sekaligus berbagi pendapat soal kue yang aku buat.

Sesekali kalau sempat aku juga mnegunjungi Om Yanto dan Tante Tantri di rumahnya, dimana rumah itu juga hanya ditinggali berdua. Seperti yang kita tahu Mbak Saras dan Mas Lino sudah berpindah ke rumah mereka sendiri. Menyibukkan diri dengan orang-orang yang lebih tua kadang juga mengasikkan, tak lupa melelahkan. Tante Tantri juga aku cicipi karena dia adalah salah satu orang yang mempengaruhi skill baking yang kumiliki sekarang.

Mbak Saras dan Mas Lino?

Mereka sedang menikmati kehidupan pernikahan penuh dengan kejutan di bulan awal. Ditambah kebahagiaan yang mendatangi mereka sekaligus. Mbak Saras disibukkan dengan segala macam gejala kehamilan di usia awal. Iya, mereka sedang menikmati momentum menjadi pasangan suami istri baru juga menjadi calon orang tua baru. Usia kandungannya sudah satu bulan. Aku juga menjadi tempat bercerita Tante Tantri soal keresahan anak semata wayangnya, yang mengeluh soal morning sickness dan segala perintilan kehamilan trimester awal.

Aku dan Mas Garin?

Masih menikmati segala usaha kami yang penuh dengan kenikmatan itu. Tidak terburu-buru lagi. Aku mulai menerima, benar-benar menerima kalau semua ada waktunya. Tidak perlu terburu-buru. Tidak perlu berlomba lagi dengan semua orang yang ada di sekitarku. Semakin berharap, hidupku malah semakin terganggu. Aku tidak hanya menyulitkan diri sendiri, tetapi juga Mas Garin yang sama-sama menjadi pihak pertama dalam pernikahan kami. Kami memilih untuk menyibukkan diri dengan kesibukan masing-masing. Lalu, kembali pulang dan hidup bahagia berdua. Menikmati segala urusan kehidupan berdua dengan Mas Garin menjadi hal menyenangkan yang selalu aku tunggu-tunggu setiap harinya.

"Lama banget" gerutuku sudah menunggu lama kehadiran Mas Garin.

"Sholat Jum'at dulu saya" jawabnya, mengambil duduk di depanku.

"Iya, salah sendiri jauh banget masjidnya, macet kan balik ke mall-nya, aku mati kebosanan" jelasku pada Mas Garin yang tengah meneguk sisa minuman dalam gelasku.

"Dimaklumin aja, Na."

"Ini aku juga maklum, Cuma agak kesel aja pengen ngedumelin kamu" aku langsung berdiri, memberikan tanda kalau aku sudah siap dan mau sekarang saja mencari belanjaan ke toko.

"Makan dulu? Saya belum makan siang" ia menawarkan untuk kita makan siang dulu.

"Nanti deh, Mas, aku juga belum makan siang habis beli hadiah buat Mbak Kirani kita makan siang berdua" aku menarik tangannya agar ia segera berdiri. Aku tidak mood makan siang.

Mas Garin menjanjikan akan menemaniku mencari hadiah untuk anak Mbak Kirani yang baru lahir. Kami berencana untuk melihat sosok bayi kecil itu beberapa hari lagi bersama Mama, Papa dan Ken. Mbak Kirani sudah melahirkan anak keduanya bersama Mas Daud. Jenis kelaminnya perempuan, lagi. Ken akan menjadi kakak laki-laki satu-satunya bagi mereka berdua. Aku tidak membayangkan akan seprotektif apa nantinya cloningan Mas Garin itu. Jadi, seperti biasanya aku akan membawakan hadiah-hadiah kecil untuk ibu dan bayinya. Tapi, si Mas Garin yang berjanji menemani sebelum sholat Jum'at malah tiba-tiba lupa. Jadilah aku sampai di mall ini lebih dahulu. Menunggu Bapak Garin yang terhormat datang karena jadwal lupanya tiba-tiba kambuh. Lalu, terhalang karena waktu kami terpotong dengan jam sholat Jum'at yang mepet. Aku benar-benar hilang mood dan kebosanan sendiri. Aku gandeng tangannya tepat sat ia berdiri. Menarik tubuhnya agar berjalan lebih cepat sedikit karena aku memiliki beberapa toko yang harus didatangi.

My Troublesome HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang