TUJUH PULUH TUJUH

7.7K 772 113
                                    

Pagi ini kami sudah berkumpul di masjid yang memang menjadi venue akan nikah Mbak Saras dan Pak Lino. Mas Garin kali ini tampak sangat segar dengan kemeja berwarna light blue sebagai dresscode-nya. Serasi dengan diriku yang memakai dress dengan brokat warna senada. Rambutku aku biarkan tergerai panjang dengan headpiece mutiara. Masjidnya memang berada dekat dengan hotel tempat kami menginap dan venue resepsi. Di samping Mas Garin, ada Rizky dan Ken yang juga memakai kemeja dengan warna senada.

Di meja ijab sudah ada Pak Lino dengan busana pengantin jawa laki-laki berwarna putih, di sampingnya duduk mempelai perempuan dengan kebaya jawa putih. Terlihat sangat berkilauan dengan semerbak melati dari bunga yang menggantung di kepalanya. Kedua mempelai nampak sangat menonjol diantara puluhan orang disini. Aku tidak pernah melihat Mbak Saras tersenyum tersipu seperti itu. Acara sudah dibuka sepuluh menit yang lalu, saat ini sedang mendengarkan khutbah nikah sebelum ijab kabul dilaksanakan.

"Menjunjung tinggi komitmen, kasih sayang, dan tanggung jawab....."

"Dengar nggak?" aku menyenggol Mas Garin yang duduk di sebelahku.

"Apa?"

"Khutbah nikahnya" tekanku dengan bisikan.

"Diem, kalau kamu ngomong saya nggak kedengeran" protesnya sambil berbisik, tanpa menolehkan kepalanya padaku.

"Itu tadi katanya, menjunjung tinggi komitmen" Mas Garin mengangguk "kasih sayang dan tanggung jawab" lagi, mas Garin mengangguki penyataanku yang mengulang isi khutbah "denger, nggak?"

"Iya."

"Kamu udah ngelaksanain semuanya nggak selama nikah sama aku?" tanyaku, penasaran tentang sudut pandangnya.

"Menurut kamu gimana? Sudah ngerasain itu dari saya apa belum?" dia memutar balikkan pertanyaan itu, kini malah aku yang harus menjawab.

"Loh, jawab dulu, kamu udah yakin istrinya ini diberikan kasih sayang?" aku menyenggol lengannya, menggoda.

"Semalam kurang kasih sayangnya?"ia menjawab dengan penuh percaya diri sambil menatap diriku.

Aku berdecak. Tidak suka kalau digoda balik olehnya.

"Khem, ada apa ini senggol-senggolan" Budhe dengan segala tingkat penasarannya menyenggol diriku dan mencoba mendekat, mendengarkan kami.

"Nggak papa, ini Masnya kurang geser, saya sempit" balasku asal. Aku bisa lihat Mas Garin terkekeh pelan mendengar jawabanku.

Setelah khutbah itu selesai. Mulailah acara utama pagi ini. Aku mengambil tangan Mas Garin yang menganggur sejak tadi. Dia menoleh padaku hendak protes, tapi diurungkan. Aku memegangnya. Rasanya ikut tegang.

"Biasa aja pegangnya" bisiknya mendekatkan mulutnya ke telingaku.

"Bisa diam nggak, aku lagi deg-degan Mas" gerutuku. Menyuruhnya diam sejenak, aku ingin menikmati momen sakral ini sekalipun bukan pernikahanku. Rasanya lebih ringan daripada saat menunggu Mas Garin mengucapkan kabul atas pernikahan kami. Aku hampir menahan napas hingga kata sah terdengar.

Ijab kabul dilaksanakan. Suasana sangat khidmat. Semua orang diam, yang terdengar hanya suara Om Yanto yang mengucapkan ijab, langsung dilanjut dengan ucapan kabul dari Pak Lino. Dihiasi oleh suara jepretan-jepretan kamera saat proses sakral itu terjadi. Suasana semenegangkan ini terasa de javu. Semuanya kembali terulang di kepalaku. Suara Mas Garin yang cukup tenang. Wajah semua orang, Tante Tantri, Om Yanto, Mama Erika, Papa Mano, Ken dan juga Mbak Saras yang sekarang berada di posisiku dahulu. Wajah Rizky yang sangat tegang tengah menjabat tangan Mas Garin kembali menghantamku. Suaranya yang tegas juga bibirnya yang bergetar kembali terputar. Hingga tak sadar aku ikut menahan napas. Semakin erat aku genggam tangan Mas Garin.

My Troublesome HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang