Six

126 28 0
                                    

William's POV.

Hari Senin selalu jadi hari yang menyebalkan buat gue. Selain karena itu adalah hari pertama setelah Weekday, segala sesuatu di hari Senin itu selalu ramai.

Contohnya sekarang.

Gue sengaja bangun lebih pagi dari biasanya demi bisa sarapan nasi uduk favorite gue, tapi pas gue sampai, malah ngantri banget. Emang sih ada banyak tukang nasi uduk di sekitar sini, tapi menurut gue yang satu ini yang paling enak. Saking enaknya, kadang jam 7 pagi aja udah abis. Makanya gue harus pagi-pagi kalau mau beli.

Gue berdecak kesal sambil melirik jam di ponsel. Padahal sekarang jam 6.15 tapi antriannya udah sepanjang ini. Karena udah kepalang tanggung, yaudah gue tungguin aja. Toh jadwal gue mulai di jam 11 siang.

Untungnya, ibu penjual nasi uduk bisa gerak cepat. Tidak perlu mengantri lama buat gue akhirnya bisa mendapatkan nasi uduk yang udah gue pengen dari seminggu lalu. Kali ini gue kebagian. Gue bangga!

Sampai di studio, gue papasan sama Kamga di depan pintu.

Iya. Lagi-lagi Kamga nginep disini.

Buat kalian yang bingung, gue dan Kamga itu berteman sejak kecil. Dulu keluarga kita tetanggaan, terus pindah. Ketemu lagi pas kuliah. Gue sama dia satu kampus. Akhirnya kita memutuskan buat ngekos bareng—supaya murah.

Lulus kuliah, gue fokus asah hobi gue sebagai freelancer photographer. Gak diduga, hasil uangnya bisa gue pakai buat bangun Studio X pelan-pelan.

Studio X itu ada 3 lantai. Lantai 1 dan 2 gue setting sebagai ruang pemotretan. Lantai 3 adalah tempat tinggal gue.

Hampir tiap hari Kamga nginep disini. Soalnya kerjaan dia emang selalu disini. Alasannya sih dia males pulang bolak-balik. Gue sih gak masalah, asal dia bayarin listrik gue aja. Eh dia mau. Yaudah.

Balik lagi ke hari ini, setelah dapet nasi uduk dan sampai studio, gue dengan sumringah membuka bungkusan tersebut. Nasinya masih anget, harum! Sangat menggugah selera. Tapi baru aja gue makan sesuap, Kamga dateng nyerobot nasi uduk gue.

"Nasi gue nyet." umpat gue kesal.

Gue dan Kamga memang teman dekat. Tapi kalau masalah nasi uduk enak gue gak masalah jadiin dia musuh.

"Bagi dikit Will. Laper gue." katanya sambil mengambil gorengan gue.

"Gorengan gue jangan diambil!!"

"Yaelah Will. Lagi lo tega banget beli sarapan gue gak dibeliin."

"Minta Alvin. Gue bukan manajer lo."

Kamga mencibir sebelum ia berdiri dari duduknya. Gue biarin dia mengambil gorengan gue daripada nasi uduk gue yang dia ambil. Gue gak rela.

Setelah situasi kembali aman, gue mengambil gambar nasi uduk menggunakan ponsel gue. Lalu gue kirim gambar itu ke sebuah kontak.

Viviane.

"Nasi uduk paling enak sedunia."

Tulis gue.

Oh, ngomong-ngomong Viviane, beberapa hari lalu setelah pertemuan pertama kami, Viviane menghubungi gue buat janjian diskusi buat pemotretan adiknya. Jadilah kita janjian hari ini jam 2 siang di kantor Mahesa—suami adiknya. Berhubung Viviane gak ada kendaraan pribadi, gue menawarkan diri buat menjemputnya di kantor supaya bisa bareng.

Gue bukan modus, ya.

Ponsel gue berdering. Menandakan bahwa ada sebuah pesan masuk. Rupanya dari Viviane.

"Beneran bangun pagi demi nasi uduk itu? 🤣"

"Beneran. Jangan lupa sarapan Viv."

What Happened in RomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang