Perjalanan menuju Jakarta tak lagi jadi menyenangkan karena percakapannya dengan adiknya pagi ini.
Sebelum boarding, Viviane sempat menelpon adiknya.
"Kak, kata Kak Edgar lo kemaren ngambil koin di Trevi Fontana ya?"
"Iya."
"Ngapain coba?"
"Ya just for fun? Gue mabok juga Em."
"Koinnya masih lo simpen?"
"Masih. Kayaknya sih ada di dompet gue, tapi gue belum cek lagi. Kenapa sih lo dari tadi hela nafas mulu?"
"Katanya ya, kalau lo ambil koin dari Trevi Fontana, si pemilik koin bakal suka sama lo. Lo ngerasa ada orang yang deket-deket gitu gak sama lo dari kemarin?"
Viviane nampak berpikir sejenak. Ia berusaha untuk mengingat kejadian apa saja yang terjadi selama 2 hari terakhir.
"Gak kok."
"Bagus deh. Semoga aja beneran cuman mitos doang. Kasian lo soalnya kalo beneran kejadian, lo harus balikin tuh koin satu-satu ke pemiliknya supaya dia berhenti ngejar lo. Bayangin kalo pemilik koinnya orang Dubai? Ih kudu jauh lo balikinnya."
Emily terbahak di seberang sana. Baru kali ini ia tidak ingin percaya pada sebuah mitos. Disisi lain, Viviane justru sedang keringat dingin. Walaupun ia tidak percaya dengan mitos, namun ucapan adiknya bisa buat kepikiran juga.
Memangnya ada yang berusaha mendekatinya dalam 2 hari ini?
Edgar? tidak. Edgar dan dia memang kebetulan bertemu saat acara pernikahan adiknya.
Theo? tidak juga. Ia tidak sengaja bertemu dengan Theo yang sedang bekerja. Ia juga yakin kalau pertemuannya dengan Theo itu sudah jadi takdir. Bukan kebetulan.
Terlalu banyak memikirkan hal tersebut membuat Viviane tidak sadar bahwa perjalanan beberapa jam nya sudah berakhir. Kini pesawat yang ditumpangi sudah berhasil mendarat di Soetta.
Setelah selesai mengambil koper dan barangnya dari bagasi, gadis itu mencari transportasi umum termudah untuk menuju tempat tinggalnya. Viviane itu di Jakarta tinggal sendiri. Ngekos lebih tepatnya. Alasannya karena memang Viviane belum memiliki kendaraan pribadi untuk kemana-mana. Jadi untuk mempermudah, ia memutuskan untuk mencari kosan di sekitar kantornya.
Gadis itu menunggu taxi yang akan ia gunakan untuk pulang. Entah kenapa keadaan bandara Soetta sore itu cukup padat. Sampai antrian taxinya bisa sepanjang ini. Biasanya naik taxi tinggal pilih saja tidak perlu untuk menunggu.
Tepat di belakangnya, ada 2 orang laki-laki tinggi memakai kacamata yang sedang berdebat. Viviane tidak menggubris walaupun sebenarnya ia bisa mendengarkan isi percakapan mereka. Gadis itu lebih memilih untuk pura-pura tidak dengar.
"Vin, gimana dong? Taxi nya gakada lagi. Berapa lama lagi waktu kita?"
Laki-laki yang lebih tinggi bertanya kepada temannya yang dari tadi sibuk memanggil seseorang lewat ponselnya.
"Nah kan. Apa gue bilang Kam? Jangan lama-lama cari oleh-olehnya. Segala reschedule flight jadi lebih sore, mepet kan jadinya."
"Yaudah iya sorry salah gue. Terus gimana solusi nya? Naik ojek online aja kali Vin?
"Gila lo ya? Udah serapih ini malah naik motor. Gue diomelin client yang ada."
Saat sedang asik menguping, sebuah taxi pun datang. Taxi itu adalah milik Viviane. Namun setelah mendengar perdebatan kedua laki-laki itu, ia jadi urung. Gadis itu melangkahkan kakinya ke samping untuk mempersilakan dua orang tadi untuk duluan.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Happened in Rome
Romance"Pokoknya, jangan pernah terlalu membenci sesuatu karena what goes around, comes around." - Viviane. Credit picture goes to its owner.