Panas siang yang menderai, seolah menjadi kebiasaan. Dimana saat-saat seperti ini penjelasan guru di depan hanyalah bagaikan angin lalu.
Kelas memang sepi, namun sepinya kelas mengartikan hal yang berbeda. Murid yang bolos tak mengikuti pelajaran, murid yang tertidur di bangku belakang, atau pun juga murid yang lebih memilih ke kantin dari pada mengikuti pelajaran
Bel istirahat berbunyi. Sekaan menjadi hal yang di tunggu-tunggu oleh seluruh murid. Koridor langsung ramai karena murid-murid berhamburan keluar kelas.
"Gila banget, benaran Rara yang dapat nilai tertinggi di ulangan ini?"
"Gue nggak nyangka," ujar gadis itu.
"Ternyata diam-diam dia pintar juga."
"Kan emang, cuma tertutup aja sama kelakuannya selama ini," ujar gadis lain.
"Wah, nggak bisa di biarin sih," ujar gadis yang lain merasa tak terima.
Desas-desus memenuhi indra pendengaran Rara. Memang-nya kenapa dengan hal tersebut? Tak ada yang perlu di banggakan bukan? Pikirnya.
Saat mereka terus membicarakan Rara secara terang-terangan, namun yang di lakukan gadis itu diluar dugaan. Seolah tuli dengan omongan-omongan tersebut.
Rara mengeluarkan sekantong keresek makanan yang dari tas nya. Ia letakkan di bawah laci meja nya secara diam-diam agar tak ada yang melihat.
Berbagai makanan yang ia bawa dari tempat kerjanya, makanan sisa yang belum lama kadaluwarsa.
Jika di keadaan sekarang makan saja sangat susah, terlalu sayang untuk Rara melihat makanan dibuang begitu saja.
Sambil mengunyah makanan, Rara melihat ke sekeliling kelas. Teman-temannya yang membawa bekal dan berkumpul di satu meja sambil bercerita banyak hal yang seru dan menarik dan tertawa karena suatu hal. Namun yang hanya bisa Rara lakukan sejak dulu hanya bisa menjadi penonton kebahagiaan orang-orang disekitar nya tanpa pernah merasakannya.
Waktu istirahat ia habiskan untuk menghitung perkiraan berapa jumlah uang lagi yang harus ia kumpulkan menebus hutang-hutang pada Papa-nya.
***
"Ini pah, maaf baru segini uang yang bisa Rara kasih." Rara mengulurkan amplop berisi uang pada pria paruh baya itu, di ruang keluarga hanya ada Rara dan Papa nya seorang.
Pria paruh baya itu menerimanya. Namun setelah mengetahui jumlah isinya ia langsung berkata. "Apa-apaan baru segini! Uang sekolah yang saya bayar itu enggak sedikit seperti ini," ucapnya tak terima.
"Maaf Pah, Gaji Rara cuma segitu," ujarnya. "Ini aja Rara minta gaji duluan sebelum tangat waktunya."
"Papa nggak peduli." Pria itu menutup amplop dan melemparkannya pada Rara. "Bawa amplop itu."
"Papa nggak sudi menerima uang cuma segitu. Ini juga sudah keputusan kamu mau lanjut sekolah SMA," ucapnya.
"Tapi Pah, bukanya itu sudah menjadi hak Rara? Terus kalau Rara nggak bersekolah Rara harus apa? Rara masih muda Pah, Rara juga pengin ngerasain apa yang anak seusia Rara rasain."
Tamparan melayang begitu saja mengenai sebelah pipi Rara. "Sudah berani kamu membantah omongan papa! Seharusnya kamu bersyukur karena papa tidak membuang kamu."
"Dari kecil kamu kan yang memaksa papa untuk menyekolahkan kamu, papa turuti. Tapi untuk kali ini papa lepas tanggung jawab dari kamu, papa sekali pun tidak sudi menyekolahkan kamu lagi, karena papa merasa kamu sudah terlalu di manja di sebelum-sebelumnya."
Kedua alis Rara mengernyit mendengar omongan terakhir Papanya. "Tapi Pah, Rara nggak mau kalau nggak sekolah. Rara masih ingin sekolah Pah."
"Kamu bisa isi keseharian kamu dengan melayani adik kamu, dibanding kamu sekolah hanya menyulitkan kamu sendiri."