Rara membuka pintu belakang rumah, baju kerja yang masih menempel di tubuhnya. Kurang lebih pukul 5 pagi ia baru pulang dari tempat kerjanya semalam, cukup terlambat memang dari biasanya.
Cepat-cepat ia mandi dan membersihkan tubuhnya, tak ada waktu istirahat baginya. Saat menyadari lampu rumah satu per satu mulai menyala, ia cepat-cepat mengeluarkan bahan-bahan makanan yang ada di kulkas.
Cepat-cepat ia memasak dengan menu yang pas dengan bahan-bahan yang ada, beruntung bibi sudah bangun pada saat itu.
Beruntung saat Rara menghidangkan sarapan kali ini, anggota keluarga-nya belum ada yang turun.
Rara melihat jam dinding, masih ada waktu untuk ia mencuci piring dan bersiap-siap untuk bersekolah, menyadari Rania yang lebih dulu turun dari lantai atas di susul oleh mama dan papa nya.
Entah kapan terakhir kali Rara berada bersama mereka di meja makan itu. Yang jelas ada rasa senang ketika mereka menghabiskan semua makanan yang Rara masak hingga tandas, namun rasa pupus harapan ketika mereka tak menyisihkan sedikit makanan untuk dirinya.
Rara berangkat setelah menyaksikan dari dinding samping keluarganya berangkat satu persatu.
Mobil melaju satu persatu, menuju tujuan masing-masing. Dan setelah itu Rara dengan sepedanya pergi meninggalkan rumah setelah berpamitan pada bibi dan satpam di rumahnya.
***
Rara melupakan fakta bahwa sekarang ada orang lain yang satu meja dengan-nya.
"Halo, itu yang tidur siapa ya. Ibu tau lho dari sini, walau kamu duduknya paling belakang," ujar guru itu.
Semua pasang mata tertuju pada Rara, bukan, bukan pada Rara namun pada orang di sebelahnya.
"Lo bangunin lah bego," ujar teman di depannya menginstrupsi Rara.
Rara menarik-narik seragam pemuda itu. "Bangun."
"Bangun hei." Masalahnya Rara tak mengetahui nama pemuda satu ini.
"Belum bangun juga anak baru itu?" Kata guru itu dengan sabar.
"Bangun, gurunya mau kesini." Akhirnya pemuda itu terbangun setelah Rara menepuk-nepuk pungungnya.
Pemuda itu terbangun dengan terheran-heran. Wajah kahs bangun tidurnya. Namun ia menatap Rara seperti akan marah karena gadis itu bangunkan ia dari tidur nyenyak-nya.
Rambutnya yang berantakan tak ayal ia menegakan badannyA dan berkata pada gadis di sebelahnya. "Maksud lo apa?!".
Kedua alis Rara menyatu. "Gue cuma disuruh bangunin lo."
"Kalian berdua! Keluar saja jika tidak mau mengikuti pelajaran saya!"
Perkataan guru di depan menginstrupsi Rara.
Dasar udah dibangunin bukanya makasih malah marah-marah. Batin Rara.
***
"Kantin di mana?"
Rara mendongak saat akan mengeluarkan makanan dari tasnya. "Dari kelas ini belokRibet mending lo anterin gue."
Dan di sinilah Rara sekarang. Berjalan bersisihan dengan murid baru itu.
"Ini kantinnya, g-gue balik kelas ya, lo masuk aja,"ujar Rara setelah mereka sampai. Beruntung kantin cukup sepi untuk saat ini.
"Loh kenapa lo balik."
***
Rara terjebak oleh cowok itu, di sinilah dirinya sekarang menunggu pemuda yang belum ia kenali namanya itu makan.
"Lo nggak pesan," tanya pemuda itu.
Rara menggeleng. "Nggak gue bawa makan," ujarnya sambil mengangkat makanan dari tempat kerjanya kemarin.
"Mana kenyang cuma makan snack gitu," guman pemuda itu namun mungkin Rara tak mendengarnya.
Kantin semakin ramai. Beberapa saat kemudian tanpa sepatah kata apapun pemuda itu berdiri entah menuju ke mana yang pasti menuju tempat makanan itu lagi.
Tiba-tiba dari arah belakang, punggung nya terasa dingin dan rambutnya basah. Benar saja kakak kelas di belakang sekolah waktu itu lagi.
"Maksud Kakak apa?" Rara tak terima, urusannya dengan mereka sudah selesai, namun mengapa orang-orang ini masih mengganggunya?
"Ups, gue lama nggak lihat lo," ujarnya tanpa rasa bersalah. "Lo kemana aja?" Dan kini ia dengan sok akrab merangkul pundaknya.
Baju dan rambutnya kini basah. Rara menepis tangan gadis itu yang bertengger di pundaknya. Rara pergi meninggalkan mereka begitu saja dengan suara tawa mereka yang masih bisa Rara dengar.
Beberapa saat kemudian. Pemuda tadi menelisik sekitar. Kemana perginya teman sabangkunya tadi. Meja yang tadi mereka tempati sudah kosong.
Meletakkan semangkung makanan di meja tadi. Ia menghela nafas. "Padahal tuh cewek mau gue kasih makan."
Notifikasi dari ponsel-nya berbunyi.
Mama: Gimana sekolah baru kamu Nak?
***
Salah memang Rara berada di kantin tadi. Memang lebih baik ia berada di kelas saja tadi, jika bukan karena mengantarkan murid baru itu yang tak kenal akan jalan sekolah ini.
"Rara! Lo di bully lagi?!" Teriakan dari temannya menyambutnya. Padahal ia belum sepenuhnya masuk ke dalam kelas.
Rara tak menggubris, ia dengan cepat-cepat menuju di mana bangku-nya berada.
Bersyukur teman sebangkunya sedang berbicara dengan murid lain.
***
"Sampai kapan aku harus menerima Rara di hidup aku mas?"
"Sabar Mah sabar, aku cari waktu yang tepat untuk usir dia dari sini," ujarnya. "Tolonglah perlakukan dia seperti anak kandung kamu sendiri."
"Anak kandung kamu tapi enggak anak kandung aku."
Pria paruh baya itu menghela nafas, pertengkaran dengan istrinya itu selalu tak jauh-jauh karena Rara. "Tolong aku minta tolong sama kamu, terima dia. Walaupun mas tau itu susah untuk kamu."
"Mas, bertahun-tahun aku coba untuk terima dia, tetap aku nggak bisa menerima dia sebagai anak kandung aku." Perempuan itu mengeluarkan curahan hatinya yang ia kubur selama ini.
"Aku nggak mau mas, ada orang lain dalam pernikahan kita?"
Pria itu berbalik menghadap istinya sepenuhnya. "Dia bukan orang lain."
"Dia orang lain mas, dalam pernikahan kita, aku dari dulu cuma ingin hanya ada aku kamu dan anak kita Rania," ujarnya. "Bukan Rania."
"Kamu tau lah Mas, selama ini dia selalu mencelakakan keluarga kita. Anak kita Rania berkali-kali malu punya saudara seperti dia.
Tidak ini bukan salah mereka. Ini salah Rara, untuk hadir di hidup mereka. Pikir Rara lalu pergi dari tempat persembunyianya.
***