childhood

12 1 0
                                    

Rara berdiri tepat di tangga bawah rumahnya. Mengintip gadis kecil lain yang sekiranya masih seumuran dengannya sedang belajar membaca dengan seorang guru privat yang khusus didatangkan oleh orang tua mereka.

Dengan langkah kakinya yang pelan. Gadis itu mencoba mendekat saat guru perempuan itu menyuruhnya. 

Mengetahui saudaranya berada di sini gadis lain yang kini sedang fokus menulis itu langsung berhenti dan meletakkan alat tulisnya.

"Adek mau ikut belajar juga ya?" Tanya guru itu.

Dengan wajah kumalanya gadis kecil berponi tidak rata itu mengangguk.

"Bu guru. Aku nggak mau ada dia disini."

"Loh kenapa?"

"Pokoknya aku enggak mau Bu! Aku enggak bisa fokus nanti." 

Belum sempat guru itu berkata,  panggilan lain berasal dari arah belakang sana. "Rara ngapain kamu disitu?!"

Rara menoleh dan berlari dengan cepat dimana suara memanggil namanya itu berasal.  

Wanita itu menggandeng paksa tangan Rara menjauh. "Kamu itu ngapain di situ?! Ganggu Rania belajar?!"

"Enggak Ma." Rara kecil meggeleng. "Aku pengin kayak Rania. Belajar kayak gitu."

"Jangan aneh-aneh! Jangan sama-samain kamu sama Rania. Mama aduin papa, kamu dihajar lagi kaya kemarin. Mau?"

"Kalau Rania ngelakuin sesuatu yang kamu juga pengin. Yaudah. Enggak usah minta. Jangan sama-samain kamu sama dia. Paham?" Perkataan ibunya yang gadis kecil itu belum bisa ia cerna sepenuhnya.

***

Rara menghampiri bibi yang bekerja di rumahnya, tepat saat baru saja gadis kecil itu pulang sekolah. Waktu itu ia masih duduk di bangku SD. Tentu bukan tanpa alasan dan beribu persyaratan untuk pada akhirnya gadis kecil itu dapat bersekolah seperti yang ia inginkan.

"Bibi, Rara boleh minta tolong ?"

"Minta tolong apa?" ujar wanita itu masih sibuk dengan pekerjaannya.

"Besok di sekolah Rara ada pentas Bi, Katanya orang tua di suruh buat datang." 

Gadis itu membuka tas sekolahnya. "Ini Bi ada suratnya kalau Bibi enggak percaya."

Bibi menyelesaikan membilas piring-piring, lalu membaca surat undagan yang Rara berikan sampai selesai. "Iya. Terus kamu mau minta tolong apa sama bibi?"

"Besok orang tua di suruh datang Bi. Itu masalahnya. Mama sama papa enggak mau datang Bi. Mereka malah marah-marah ke Rara."

"Bibi mau enggak datang besok ke sekolah Rara? Pura-pura jadi orang tua Rara," ujar gadis itu dengan polos nya.

Wanita itu menghela nafas  menjajarkan tingginya dengan Rara. "Kalau bibi datang ke sekolah buat lihat pentas kamu. Terus siapa yang bersih-bersih rumah ini? siapa yang bakal masak pagi-pagi buat sarapan? Siapa yang bakal bantun Rania siap-siap buat sekolah? Nanti yang ada bibi malah enggak boleh kerja di sini lagi."

Dalam hati gadis kecil itu membenarkan apa yang wanita itu katakan. 

"Kalau Rara ajak Pak Ndin gimana Bi?" ujar Rara menyebut nama satpam di rumah ini.

"Ya sama aja dong Ra, Pak Ndin kan juga kerja disini."

Rasanya gadis kecil itu ingin menangis saja. "Terus Rara harus gimana Bi besok?"

Bibi tidak memberikan solusi untuk Rara. Rara harus bagaimana sekarang? Ini pentas pertama. Ia akan sangat malu pada teman-temannya jika tidak membawa orang tua hadir bersamanya.

***

Rara tak bisa tidur. Memikirkan bagaimana ia di sekolah besok. Bagaimana pentas-nya. Ia menatap barang-barang yang sudah ia siapkan besok tersampir di balik pintu kamar.

Ia siapkan sendiri. Bibi tak mau membantunya. Sudah lelah katanya.

Gadis kecil itu menatap langit-langit kamar. Bibi sudah tidur dengan nyenyak memungungi dirinya. Ia bangun dan memilih keluar kamar. 

Kamar kecil yang terletak di dapur itu ia tempati berdua dengan Bibi. Penuh dengan barang-barang tak terpakai. Kipas angin sudah rusak dari beberapa bulan yang lalu. Hanya ada kipas angin kecil untuk bibi, dan Rara hanya mengandalkan angin malam dari luar jendela yang tidak di tutup. Saat ia minta untuk dibuatkan kamar sendiri seperti saudaranya berakhir dengan ia menangis seharian karena di marahi.

Tak sengaja saat melewati kamar utama ia mendengar suara orang berbicara. "Kenapa kamu nggak titipin dia di panti asuhan aja sih mas? Kamu juga udah enggak mau ngurusin dia kan? Aku terus yang ngurusin dia. Aku malu setiap orang-orang bilang kalau dia itu anak aku."

Rara mengedikkan bahu. Membuka pintu kamar lain yang besar dan bernuansa serba pink. Warna favorit dari si pemilik kamar. 

Rara urungkan naik ke atas tempat tidur. "Rania kamu udah tidur? atau cuma pura-pura biar enggak aku ajak main?"

"Besok aku gimana ya Ran di sekolah. Aku ada pentas. Barang-barang nya udah aku siapin semua. Tapi besok aku bingung, kata Bu guru di suruh datang sama orang tua."

"Kalau bu guru marahin aku gimana?" Ia seperti akan menangis mengatakan itu. Bingung pada dirinya sendiri.

"Waktu dulu aja kamu masih TK. Mama papa datang. Kamu di kasih bunga gede banget. Waktu aku lihat fotonya aku iri, kenapa mama papa nggak gitu ke aku ya Ran? Mereka malah selalu marah ke aku"

Dan berakhirlah dengan suara tangisan yang  kerasnya bisa membangunkan tidur Rania. namun teredam oleh bantal.

Tengah malam karena lelahnya menangis, gadis itu terlelap sendirinya.

***

Setelah pentas selesai di lanjut dengan giliran berikutnya. Satu per satu anak menuruni panggung. Mereka menuju tempat duduk orang tua mereka masing-masing. Orang tua mereka yang sudah terlanjur bangga dengan penampilan tadi menghadiahi dengan menciumi pipi mereka, memberikan bunga. Berkata bangga pada mereka dan masih banyak lagi.

Namun tidak dengan anak yang berada tepat di samping panggung itu. Sebelah tangan memeluk tasnya. Sebelah tangannya lagi menggigit kuku jarinya. Hanya melihat teman-temannya dari kejauhan.

Ia harus menghampiri siapa sekarang? Tidak ada seorangpun dari keluarganya yang hadir.

Air mata di pelupuk matanya. Ia mulai bertanya-tanya. Kenapa orang tuanya tidak seperti orang tua temannya yang dengan bangga temannya selalu ceritakan. Baik, perhatian, selalu sayang. Dan ia bisa melihat dengan jelas itu sekarang.

Kenapa orang tuanya berbeda. Mereka selalu saja marah-marah padanya. Rara ingin di perlakuan seperti yang orang tua nya lakukan pada Rania. Tidak pernah memarahi atau menyakiti, namun selalu berkata apapun lemah lembut. Berbeda dengan saat ia melakukan kesalahan sedikit saja, ia sudah langsung di pukul dan di marahi. 

Seorang guru menghampiri. "Loh Rara kok disini? orang tuanya mana?"

Wanita itu kaget saat tiba-tiba Rara menangis dengan kencangnya. Wajahnya memerah dan langsung menghambur kepelukanya.

Membuat seluruh pasang mata tertuju ke arahnya. Seolah ia yang membuat anak ini menangis.

***

Rara kecil, rambut panjang poni enggak rata karena waktu itu di potong sendiri sama anaknya <3



first sit mateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang