03. No Es Una Prioridad

914 76 8
                                    

Baca sesuai urutan judul.
Vote dong tukhon:)

Heppi riding, typo(s) everywhere:')

.......

BUKAN PRIORITAS

ᵀᴼˣᴵᶜ 𝑨𝑹𝑬𝑨

"PEAT AKU BAHAGIA SEKALI."

Fort teriak sambil masuk kamar, Peat yang tadinya fokus mengerjakan skripsi jadi terganggu. Peat menoleh ke arah Fort yang sedang sumringah.

"Kenapa?"

"Aku bahagia, sangat bahagia, kau mau makan apa? I'll treat u today."

"Uhuh?" Peat menaikkan alisnya sebelah, dia ikut tersenyum kala Fort tersenyum lebar ke arahnya.

"Anneth menerimaku jadi pacarnya." kata Fort.

Senyum Peat langsung hilang, Peat membulatkan mulutnya tanpa suara. Dia memfokuskan dirinya lagi ke arah laptop yang masih menyala.

"Kenapa kau tidak heboh? Harusnya kau heboh sepertiku."

"Untuk apa? Tidak terlalu mengejutkan, katamu dia memang belum bisa move on jadi wajar kau diterima jadi pacarnya lagi."

"Iya sih, tapi aku tetap merasa bahagia apalagi tadi Anneth terlihat sangat cantik dengan rambut dikepang."

"Hm."

"Dia memakai baju putih dengan motif bunga yang semakin membuatnya sangat anggun."

"Hm."

"Anneth tadi-"

"Fort bisakah kau diam? Aku sedang sibuk."

"Dios mío, lo siento"
(Oh astaga, aku minta maaf)

"No tengo ganas de comer nada"
(Aku sedang tidak ingin makan apapun)

"Kau yakin? Aku akan membelikanmu apa saja."

"Pergilah Fort, aku sibuk."

"Kau tidak asik."

Fort mendecak lalu dia pergi lagi entah kemana. Peat menarik nafasnya dalam, hatinya sangat sakit tapi dia tidak bisa melakukan apapun. Peat meneguhkan hatinya agar tetap kuat apalagi dia harus fokus dengan skripsinya.

Hari ini harusnya Fort nemenin Peat beli kebutuhan rumah yang sudah habis, seperti sabun mandi, sabun cuci piring, stok makanan, dan lain sebagainya. Tapi akhirnya Peat belanja seorang diri karena Fort harus menemani Anneth pergi ke salon.

"Fort ayo berangkat."

"Maaf Peat, Anneth minta diantar ke salon."

"Lho kan harusnya ini jadi hari kita belanja keperluan rumah."

"Maaf banget Peat, maaf yaaaa.... Nanti aku bawain makanan kesukaanmu deh."

"Ga usah, aku bisa beli sendiri."

"Oh ayolah Peat jangan marah.." Fort mencium punggung tangan Peat berkali-kali.

"Ck pergilah, aku bisa belanja sendiri."

"Kau marah?"

"Nope."

"Terimakasih Peat, aku mencintaimu." Fort mencium kening Peat sebelum pergi.

Peat mengusap air matanya yang jatuh tanpa permisi, sakit rasanya saat kembali mengingat kejadian tadi pagi. Hal seperti itu sebenarnya sudah menjadi makanan sehari-hari Peat setelah sahabatnya memiliki pacar lagi.

Sejak Fort balikan dengan Anneth, Peat menjadi nomor dua untuk Fort. Apapun yang Fort ceritakan pasti berhubungan dengan Anneth, pagi siang sore malam Peat harus mendengarkan celotehan Fort tentang Anneth, bahkan ketika Peat meminta tolong kepada Fort untuk membelikannya makanan tak jarang Fort mengatakan "Sorry, aku sedang bersama Anneth sekarang."

Bahkan ketika Peat merasa tidak enak badan dan minta untuk diantar ke dokter, Fort tidak bisa mengantarnya karena Anneth minta ditemani ke toko buku. Fort memilih Anneth daripada Peat. Fort tidak salah, itu kewajibannya sebagai pacar, Peat tidak boleh egois bahkan ketika dirinya sudah tidak kuat membuka mata.

"PEAT!" Fort berlari ke arah Peat yang tergeletak di dekat meja.

"Peat bangun, astaga badannya panas sekali."

"Peat..."

Fort menggendong Peat dan merebahkannya di atas kasur. Fort menyelimuti badan Peat agar sahabatnya tidak kedinginan, Fort mengambil minyak angin dan menaruhnya di dekat hidung Peat.

"Aduh..." Peat memegang kepalanya saat siuman.

"Kau oke?" Fort memberikan minum untuk Peat.

"Heum."

"Apa sangat sakit?"

Peat menatap mata Fort cukup lama.

"Sangat sakit Fort, sangat." Peat sedang membahas hatinya.

"Maaf aku kira kau cuma sakit biasa. Mau ke dokter?"

Peat menggeleng, dirinya sudah tidak ingin pergi ke dokter atau kemanapun. Peat ingin tidur saja, kalau bisa tanpa Fort karena melihat wajah Fort saja hatinya sudah sakit.

"Aku belikan obat ya?"

Peat menggeleng lagi.

"Kau mau makan saja?"

"Tidak, Fort aku mau sendiri. Bisa kau pergi saja?"

"Kenapa? Kau marah?"

Menurutmu saja bagaimana? - batinnya.

"Tidak, aku hanya stres dengan skripsi, aku ingin istirahat sendiri di kamar."

"Kalau kau pingsan lagi bagaimana?"

"Tidak akan."

"Aku khawatir."

Kalau kau khawatir harusnya langsung pulang waktu aku bilang aku tidak enak badan. -batinnya.

"Pergilah Fort."

"Heum oke, get well soon." Fort mencium kening Peat sebelum pergi.

"Sakit sekali." Peat memukuli dadanya yang terasa sesak.

Di sisi lain, Fort berjalan lontang lantung di jalanan. Dia merasa khawatir, bersalah, serta bingung. Dia khawatir Peat pingsan lagi, dia merasa bersalah karena tidak menanggapi keluhan Peat dengan serius, dan dia merasa bingung ketika Peat menatapnya dalam.

"Apa kepalanya sesakit itu?" monolog Fort sambil menendang-nendang angin.

Sekitar jam 10 malam, Fort kembali ke rumah. Saat masuk ke kamar dia melihat Peat sudah tertidur pulas. Fort hanya meliriknya, dia memilih mandi terlebih dahulu. Setelah mandi, Fort mengambil tempat kosong di sisi Peat. Dia mengangkat kepala Peat perlahan dan meletakkannya di latas lengan. Fort mengelus surai lembut Peat sambil menatap wajah cantik itu tapi matanya menangkap sesuatu yang janggal.

"Kok mukanya sembab?"

"Apa sakit sekali sampai kamu menangis?"

"Harusnya tadi kita ke dokter saja, tapi Anneth sedang manja dan tidak mau ditinggal."

"Semoga cepat sembuh, Peat. Aku jadi sedih kalau melihatmu sakit seperti ini." Fort  mengecup pucuk kepala Peat.

Fort merengkuh Peat dan tidur bersama dalam satu pelukan. Peat membuka matanya perlahan, dia sudah terbangun sejak Fort mengusap surainya. Peat mendongakkan kepala menghadap  wajah Fort yang sudah tertidur.

"Memang sakit Fort." lirihnya.

Peat menyamankan diri ke dalam pelukan Fort meski hatinya masih sakit. Dalam tidurnya Peat menangis, walau tidak mengigau tapi air matanya mampu menceritakan bagaimana sakit yang dia rasakan sampak tidurnya tak terasa nyaman.

ᵀᴼˣᴵᶜ 𝑨𝑹𝑬𝑨

ᵀᴼˣᴵᶜ 𝑨𝑹𝑬𝑨 [𝐅𝐎𝐑𝐓𝐏𝐄𝐀𝐓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang