Kita Yang Tak Pernah Terlahir Utuh

843 107 25
                                    


"Ma, Besok ada wali murid bisa dateng nggak ?"

"Jam berapa ? Ini adik kamu juga ada wali murid. Kayaknya mama nggak bisa."

Tak lama terdengar suara tangisan bayi dari seberang telfon.

"Nanti mama kabarin lagi." sambungan telfon itu di putus sepihak.

Evano mendesah pelan, sulit sekali rasanya mendapat perhatian mama nya sendiri, sebagai anak pertama dan memiliki 3 adik yang salah satunya masih bayi membuat perhatian orang tua kepadanya hilang. Papa yang sangat sibuk dengan pekerjaan dan mama yang sangat repot dengan ke 3 adiknya.

Lalu ia terbuang ke sini, di kota Semarang tanpa ada keluarga dekat, merantau meski umurnya terbilang masih kecil. Mereka hanya mengantarkan Evano saat mendaftarkan diri ke sekolah menengah atas 6 bulan lalu.

Evan bukan tidak bersyukur tapi bolehkah dia menuntut perhatian orang tuanya ? Evano juga ingin di perhatikan. Ketika ia mendapat peringkat satu di apresiasi, ketika ia jatuh ke peringkat 14 di rangkul. Sayangnya Evano susah mendapatkan hal itu.

Semakin ia mencapai peringkat satu mamanya akan berkata "Bagus, kamu harus belajar lebih keras lagi." lalu kapan ia bisa beristirahat ?

Belajar lebih keras lagi.

Satu hal yang Evano tahu bahwa peringkat satu masih tidak ada apa-apanya di mata orang tua.

Saat peringkat itu turun ke peringkat 14. Mama akan marah-marah, "Mama malu di tanya sama guru kamu, Van. Kenapa anak mama yang awalnya peringkat satu jadi turun ke peringkat 14 ? Guru kamu nanya ke mama kamu nggak belajar ?"

"Kamu ini kenapa sih ? Mama udah pusing sama adik-adik kamu. Kamu jangan ikutan bikin mama pusing dong, mama nggak mau tahu, besok ikut les tambahan."

Perkataan mama adalah hal wajib untuk di lakukan. Mama yang selalu memarahinya tanpa henti, mama yang suka berbeda pendapat dengannya dan berakhir bertengkar. Evano tidak mampu marah sebab ketika pertengkaran itu berakhir, Evano selalu mendapati mama akan menangis di kamar.

Se-fatal apa kesalahan Evano menjadi seorang anak ?

Evano merasa gagal.

"Mama nggak mau harta kamu kalau kamu udah sukses, mama cuma mau kamu berhasil jadi anak. Jangan bikin rasa sakit mama sia-sia ngedidik kamu, Van."

Evano bahkan berusaha menjadi anak yang tidak menyusahkan.

Dan papanya...

Tidak ada yang spesial dari beliau, seperti tipe orang tua laki-laki pada umumnya : pekerja keras, pendiam, dan selalu menuruti keinginan Evano jika menyangkut materi.

Papa tidak seperti Om Aditya yang berisik dan suka bercanda. Papa justru lebih terlihat seperti patuh.

Setiap Evano mengadu dengan menangis tersedu-sedu papa hanya akan berkata, "sudah turuti saja mama mu."

Tapi sampai kapan ?

Ia menatap langit-langit kamar kos. Belum terlalu lama ia di sini, masih butuh beradaptasi. Di sini sepi meskipun penghuni kamar lain selalu mengajaknya berbicara, ia rindu pada hal yang sering orang sebut sebagai rumah.

Ia rindu adik-adiknya, ia rindu masakan mama nya sendiri. Tidak apa-apa jika ia di marahi setiap hari asal ia berada di rumah bukan disini, semuanya asing meskipun menyenangkan.

Ia merasa.... Sangat terbuang.

Ia menatap ponselnya, wallpaper dalam ponsel itu bukan foto orang tuanya. Melainkan foto sepasang laki-laki dan perempuan yang sering ia panggil om dan tante. Juga foto dirinya bersama seorang anak kecil yang bahkan ia anggap sebagai adiknya sendiri.

8 Pintu Untuk Arkana | Zerobaseone ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang