Menata Ulang Ruang-Ruang

541 72 8
                                    

"Kamu ada pada persimpangan jalan. Kita bersama pada perjalanan, dan berpisah untuk kembali pulang pada tujuan."

__________________

"Lo udah suka berapa lama sama dia ?"

Yang di tanya menghembuskan napas pelan sembari memejamkan mata saat angin menerpa wajahnya, "Sejak pertama kali dia dateng ke rumah."

"Lama dong."

"Iya."

"Gue seneng dia pernah ketemu sama lo. Kalau seandainya lo nggak ada, gue nggak tahu bakal sehancur apa dia."

"Tapi perasaan gue ngelanggar batesan."

"Nggak, siapa bilang ? Lo kan nggak tahu awalnya kalo dia keponakan lo ? Lagian nggak bener-bener keponakan. Nggak ada yang salah sama perasaan, kadang yang bikin salah itu ambisinya. Dan lo nggak pernah gedein ambisi lo buat milikin dia."

"Arka.. "

"Hem ?"

"Evano orang baik, gue bersyukur pernah suka sama orang kaya dia. Walaupun gue nggak bisa sama dia. Nggak apa-apa tujuan utama gue bukan itu, sekarang gue mau fokus ngebesarin Danu karena cuma gue yang Danu punya, sesuai sama permintaan Evano buat jagain Danu."

Arka terdiam. Lantas mengangguk sembari menatap kapal kapal yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Emas.

Semilir angin yang di bawa oleh air laut membuat dadanya ringan.

"Kadang mbak, nggak semua yang dateng ke hidup kita bakal jadi tujuan. Yah, kadang-kadang cuma jadi temen perjalanan dan mereka nggak bisa kita ajak pulang. Tapi seenggaknya dia pernah ada buat jadi perjalanan paling asik yang pernah kita lewatin."

"Gue masih nangisin dia kalau kangen." Arka tahu, sebab ia pun masih begitu.

"Nggak apa-apa. Rasa kangen itu biarin jadi bukti kalau masih ada orang yang sayang Evano." Di tatapnya gadis yang pernah bertengkar dengannya. Windi–akhirnya Arka memutuskan untuk mengajak gadis itu bertemu di pertemuan kedua dengan keadaan lebih baik dan lapang.

"Dulu, Evano pernah bilang sama gue gini 'Benang panjang bisa saja putus, tapi kebaikan kecil nggak bakal bisa di hapus' gue nggak pernah tahu artinya, tapi sekarang gue jadi paham setelah dia nggak ada."

"Apa tuh ?"

"Selama apapun kita kenal dan akrab sama seseorang, kita bisa jadi asing bahkan sampe lupa. Tapi kalau perkenalan itu punya kebaikan meski sekecil semut pasti bakal terkenang sampe kapanpun. Gue sebagai adik Evano, pengen ngelakuin itu, mbak."

Lalu Arka menyerahkan sebuah amplop berisi uang dari hasil kesepakatannya dengan mama.

"Evano masih tetep jadi keponakan lo meski nggak ada hubungan darah sekalipun, meskipun dia nggak pernah ngelakuin kebaikan apapun sama lo juga. Tapi lo udah pernah nemenin dia di masa-masa sulitnya Evano. Dan itu nggak akan pernah gue lupain sebagai adiknya. Jadi disini gue pengen ngebales semua kebaikan lo."

"Gue nggak butuh ini." Windi menolak.

"Iya, Lo emang nggak butuh. Tapi Danu butuh, keluarga gue bakal ngasih Danu uang rutin setiap bulan. Karena gimanapun juga meskipun Danu beda ayah sama Evano dia tetep jadi adiknya Evano, kan satu ibu. Gue pengen nerusin kebaikan yang Evano lakuin sama Danu sebagai seorang kakak."

Windi menatap amplop itu dengan nanar, sebab rasanya ia juga berat merawat Danu sendirian. Mengandalkan kerjanya yang tidak seberapa dan uang bapak sebagai penjual soto tidak akan cukup untuk merawat Danu sampai dewasa.

"Mbak Siwi bakal nyesel karena udah nyia-nyiain anak sebaik Evano sama Danu. Gue nggak tahu sekarang dia dimana, tapi nggak apa-apa karena akan lebih baik kalau Danu nggak tahu soal mamanya."

8 Pintu Untuk Arkana | Zerobaseone ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang