Prolog

62 7 104
                                    

Hari ini, saya sedang berada di suatu tempat, tempat dimana dipenuhi dengan pepohonan rindang yang menjulang tinggi, saya datang kesini dengan menggunakan mobil pribadiku, ya saya bisa menyetir kendaraan dengan bau AC nya yang sangat khas.

"Hmm.... disini ya yang katanya tempat dengan pengobatan termanjur seKalBar? Kalau iya, kok gini ya tempatnya ya? Apakah ini beneran dibangun di hutan atau gak terurus pekarangan klentengnya?" kataku sembari melihat sekeliling tempat itu.

Ahh, hari ini sangat mendung. Saya harus cepat-cepat berlindung, takut hujan nih. Gumamku.

Dengan hati-hati, saya melangkah maju menuju tempat yang menurutku adalah sebuah klenteng kecil. Katanya memang disini pengobatannya menggunakan cara pengobatan medis nasional, bukan dengan cara tradisional.

Karena jalannya dipenuhi dengan daun-daun kering dan sarang hewan yang sudah hancur diinjak, jadi mau tidak mau mengharuskan saya menggunakan sepatu agar terhindar dari hewan-hewan kecil yang mempunyai gigitan tiada tara itu. Pasti kalian tahu hewan apa yang saya maksud.

Ini sebenarnya apa sih? Klenteng yang seharusnya menjadi tempat ibadah umat Khonghucu juga bisa mengobati orang seperti tempat praktek medis.

Ahh, mungkin memang dari sono nya mungkin. Saya datang ke sini hanya untuk sekedar mengambil obat asam urat untuk nenekku di Jepang karena di Jepang tidak ada obat asam urat, semua serba sehat.

"Assalamualaikum." Saya mengetuk tiang di depan klenteng itu dengan sopan, karena tidak ada respon, saya mengetuk lonceng kecil yang tergantung di pintu depan klenteng.

Teng

Teng

"Assalamualaikum, permisi. Disini ada orang tidak?" Aneh, masih saja tidak ada respon, mending saya langsung masuk daripada harus menunggu lama di depan klenteng.

Klenteng ini tidak terlalu kecil juga, karena di balik itu ada sebuah ruangan sederhana tambahan yang saya tidak tahu gunanya apa. Sudah itu gelap gulita lagi, untung baterai hp penuh jadi bisa digunakan untuk menyalakan senter digital.

Untung saja di klenteng ini dipasang lampu jadi tidak gelap deh, saya langsung memencet saklar nya dan menghidupkan lampu tersebut.

Lho? Kok lampunya nggak nyala? Gumamku sembari melihat lampu dan sekeliling ruangan yang masih gelap, astaganaga mati lampu rupanya!

Sontak, saya langsung panik. Udah itu saya datang ke sini sendirian dan tidak membawa perlengkapan darurat lagi!

Apalagi sekarang sudah hujan lebat dengan disertai angin kencang dan petir, hah saya tidak punya pilihan lain selain keluar dari ruangan itu dan kembali ke ruangan utama yang dipenuhi dengan lilin dan lidi merah yang saya tidak tahu apa namanya serta berbagai kertas dan jimat-jimat asing yang belum pernah saya lihat di Tokyo.

Rasanya menjadi tenang saat saya menatap gambar-gambar orang yang dipajang di sudut dinding ruangan, mungkin ini adalah dewa nya, seperti dewa Tengu atau dewa Izanagi.

Wusss

Angin kencang menerobos masuk ke dalam klenteng yang membuat semua api yang menyala pada lilin menghilang, bodohnya setelah api padam baru saya membantu menutup pintu dan jendela klenteng ini.

Sial! Kenapa kamu bodoh sekali sih?! Gumamku geram kepada diriku sendiri.

Jadi saya gelap-gelapan disini dong, beruntung hp masih ada di tangan jadi bisa langsung aktifkan senter digital.

Gila, ini penghuninya pada kemana sih?! Jika nanti ada orang yang datang dalam keadaan kritis gimana?

Ahh! Sudahlah, mending saya berjalan masuk ke dalam ruangan tadi. Tapi, saat saya sudah kembali ke ruangan itu, saya mendapati sesuatu yang tidak masuk akal.

Imlek : The Lost FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang