04 Mesin Waktu

8.7K 686 323
                                    

Happy reading 🦋

🦋 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ  🦋

°

°

°

Mendengar ucapan Afta tadi sore tentu membuat Zahwa was-was. Pria itu benar-benar nekat. Ia bisa melakukan apapun hanya karena alasan menurut kepada orangtua. Sungguh, selama hidup 24 tahun, baru kali ini ia bertemu dengan manusia robot seperti Afta.

"Gimana kalau dia ngelakuin itu? Bagaimana kalau dia nekat maksa Wawa? nggak mau. Wawa nggak mau."

"Aisyah Zahwa Al Akbar."

Suara itu membuat bulu kuduk Zahwa berdiri. Sudah sekitar dua jam setelah selesai shalat isya ia berada di dalam kamar mandi. Tidak, ia tidak boleh keluar. Kalau ia keluar bisa saja Afta berbuat nekat.

"Ngapain di kamar mandi selama itu? Diare?"

Zahwa menutup mulutnya. Ia menggeleng kepala, ia tidak boleh menjawab pertanyaan Afta.

"Apa Wawa tidur di kamar mandi aja kali ya?" Zahwa menepuk kepalanya, "Bodoh. Masa di kamar mandi sih!"

Zahwa menarik napas dalam-dalam lalu ia hembuskan perlahan. Tidak, Zahwa tidak takut. Ia pasti bisa menjaga diri. Afta tidak akan berani. Kalau pun ia berani maka Afta harus menerima pukulan dari Zahwa terlebih dahulu.

Dengan kepercayaan penuh, Zahwa keluar dari kamar mandi. Selama menikah dengan Afta, tidak sehelai rambut pun ia perlihatkan pada pria itu. Rasanya tidak Sudi.

"Kenapa lama sekali?" tanya Afta.

Zahwa duduk di meja riasnya. Ia sudah memakai piyama dan jilbab bergo hitam. Ia sedikit mengoleskan beberapa jenis skincare di wajahnya, setelah itu ia kembali naik ke atas tempat tidur.

"Kamu marah karena ucapan saya tadi sore?"

Tidak ada jawaban.

"Saya bercanda. Tidak mungkin saya Melakukan itu tanpa persetujuan dari kamu. Tidak usah takut."

Zahwa berbaring menghadap kanan, ia menggigit selimutnya. Ia tidak percaya. Afta itu sejenis iblis, dia bisa menipu dengan begitu cerdik.

"Tapi kalau kamu setuju sekarang, saya bisa melakukannya." Afta menutup laptopnya, menatap zahwa yang dibalut oleh selimut putih. "Kebahagiaan orangtua adalah hal yang paling utama. Kalau mereka bahagia, kita sebagai anak jadi merasa berhasil. Itu kenapa saya selalu menuruti semua keinginan orangtua saya. Dan harusnya kamu juga belajar dari saya. Orangtua kamu pasti ingin sekali punya cucu dari kamu. Dan saya dengar-dengar, pesantren Al Hasyim itu akan jatuh di tangan kamu, bukan? Ini bisa jadi peluang besar. Jika anak kita laki-laki, dia bisa mewarisi pesantren Al Hasyim. Bukan hanya menguntungkan untuk saya, Zahwa."

Mendengar ucapan panjang pria itu. Zahwa langsung duduk. Ia merapikan hijabnya, menatap sinis pada Afta.

"Anak itu bukan barang yang bisa kamu katakan untung di aku dan untung di kamu. Anak itu titipan, kalau sejak dia dibentuk saja sudah tidak ada cinta, bagaimana besarnya? Njenengan ada Karena cinta juga, kan?"

Afta menggeleng.

"Abi saya menikahi Ummi juga karena perjodohan. Mereka terpaksa melakukan hubungan suami istri karena tuntutan dari dua keluarga. Ada yang salah? Tidak. Mereka punya anak, mereka bisa saling mencintai setelahnya. Apa yang salah dari itu?"

Zahwa tertawa sarkastik.

"Jadi, cara itu yang kamu anut sampai hari ini?"

"Tentu," jawab Afta begitu singkat.

Mesin Waktu (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang