Happy reading 🦋
🦋 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ 🦋
°
°
°
Sesuai janji Afta. Malam ini ia akan mengajari Zahwa memasak. Sebenarnya ia tidak terlalu jago, tapi setidaknya ia masih bisa menakar garam dan bisa memasak beberapa jenis makanan.
"Mas Afta, ayam yang di sini habis? Tinggal satu paha lagi."
Pria itu ikut membuka freezer. "Kita ke supermarket sekarang kalau kamu mau."
"Sekarang?"
Afta mengangguk. Zahwa langsung mengiakan. Mengambil tas lalu bergegas menyusul pria itu ke mobil. Selama perjalanan tidak ada percakapan yang menyertai. Hanya suara pengendara lain yang terdengar di antara mereka. Mereka masuk ke dalam supermarket, membeli apapun yang dibutuhkan, membayarnya, lalu pulang.
Dan di jalan pulang. Sekitar beberapa meter lagi dari rumah. Mobil mogok. Tidak bisa dinyalakan. Beruntung ada bengkel terdekat sehingga mereka tidak perlu kesusahan mencari bantuan.
"Masih lama kira-kira, Pak?" tanya Afta.
"Sepertinya baru bisa dijemput besok, Pak. Ini sudah hampir larut malam. Saya juga sudah mau tutup."
Afta menoleh pada Zahwa, gadis itu mengangguk kecil.
"Kalau begitu besok pagi saja saya jemput."
"Baik, Pak."
Terpaksa mereka pulang jalan kaki. Jaraknya memang tidak jauh jika berkendara, tapi kalau jalan kaki bisa menghabiskan waktu 20 menit.
"Mau ngapain?" tanya Zahwa ketika Afta sibuk dengan ponselnya.
"Pesan ojol."
"Nggak usah. Kita jalan kaki aja. Jarang-jarang, kan."
Afta mengentikan jarinya di ponsel. Zahwa tersenyum seraya mengangguk. Baiklah, Afta terima. Ia menyimpan kembali ponselnya di saku jaket. Berjalan melewati beberapa rumah di tepi jalan.
"Kenapa tiba-tiba jadi CEO di bisnis properti? Abi sama Umi punya latar belakang pebisnis?"
Kedua tangan Afta menyelip di kedua sisi celananya. Ia menoleh pada Zahwa yang berjalan santai di sebelahnya.
"Perusahaan Atlatas itu dulunya milik Paman saya. Kenal Gus Baid?"
"Pemimpin pesantren Al Yunus?"
"Ya. Ayahnya dulu seorang pengusaha besar. Dia terkena serangan jantung, meninggal setelah beberapa bulan dirawat. Gus Baid tidak ahli dalam bisnis ayahnya. Ia lebih suka di pesantren. Hingga akhirnya kami sepakat untuk bertukar ahli. Saya mengambil alih perusahaan ayahnya karena saya tidak tertarik dengan pesantren dan tidak memiliki latar belakang sekolah pesantren. Dan Gus Baid mengambil alih prosesi sebagai pemimpin pesantren Al Yunus."
"Bukannya pewarisnya harus kamu?"
"Gus Baid juga masih pantas. Dia cucu terakhir dalam silsilah pesantren Al Yunus. Hanya saja ayahnya jauh dari pesantren, itu kenapa dia dianggap jauh dari keturunan Al Yunus. Dan sekarang yang terlihat jauh, saya."
Afta menendang krikil jalanan. "Saya tidak ahli mengatur pesantren. Lebih dominan di bisnis. Tidak suka juga di lingkungan pesantren. Ilmu agama saya tipis. Kamu pasti belum tahu kalau saya punya Kakak laki-laki."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mesin Waktu (SUDAH TERBIT)
RomanceMesin waktu tidak akan pernah ada dan Zahwa tidak akan pernah bisa mengundur waktu untuk ia bisa kembali ke masa dulu di mana dia belum menikah dengan Afta. Jadi, Zahwa memilih untuk tetap kuat di masa ini karena ia tahu mesin waktu itu tidak ada ki...