12 Mesin Waktu

8.7K 637 92
                                    

Happy reading 🦋

🦋 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ  🦋

°

°

°

Zahwa buru-buru masuk ke dalam kamar ketika Afta menawari dirinya untuk berendam bersama. Tidak, Zahwa belum berani. Dengan sangat gugup, Zahwa mengambil handuk untuk segera bersih-bersih dan bersiap shalat magrib.

Beberapa menit di dalam sana. Ketika keluar, Zahwa menunduk tidak berani menatap Afta. Bahkan ketika pria itu mengajaknya bicara, Zahwa justru menjawab singkat dan tidak berani menatap mata Afta.

Hingga akhirnya Afta keluar dari kamar mandi. Ia menoleh pada Zahwa yang tengah membentangkan sajadah.

"Sajadah saya mana?"

"Di tempat biasa," balas Zahwa sedikit gugup.

"Tidak mau shalat berjama'ah?"

"Di masjid? Boleh, kalau Mas Afta mau ke masj----"

"Berdua. Saya imamnya, kamu makmumnya."

Deg! Tidak bohong, hanya dengan kalimat ini saja detak jantung Zahwa sudah berpacu cepat. Padahal ia masih ingat hari di mana Afta mengatakan jika ia tidak Sudi menjadi imam untuk Zahwa. Ia selalu mengatakan "kita shalat masing-masing"

"Zahwa?"

Lamunannya buyar. Ia bergegas mengambil sajadah dan membentangkannya di depan. Afta melipat sarungnya. Memakai kopiah berwarna putih.

Afta melirik ke belakang sekilas. Dan Zahwa langsung menunduk menutupi wajahnya dengan mukenahnya. Sampai akhirnya pria itu berniat dan takbir terdengar.

Semua rukun shalat terpenuhi. Shalat berakhir dengan do'a yang dipimpin pria itu. Afta menoleh ke belakang, mengulurkan tangannya. Zahwa mencium punggung serta telapak tangan gadis itu. Dan Zahwa kembali terkejut saat Afta mencium tangannya.

"Terima kasih sudah menyiapkan saya sarapan setiap pagi. Walaupun selalu rasa garam, tapi tangan ini sudah berusaha."

Susah paya Zahwa menelan salivanya. Ini lebih mengejutkan, tubuh Zahwa seolah diikat kuat sehingga ia tidak bisa bergerak saat pria itu mencium sudut bibirnya.

"Dan terima kasih sudah menasehati saya setiap harinya. Saya tidak tahu nasihat atau perlakuan kamu yang membuat saya jatuh cinta. Tapi apapun itu, kamu benar-benar berhasil."

Zahwa menunduk. Tidak berani menatap wajah pria di hadapannya.

"Baru kali ini saya lihat kamu malu-malu." Afta mendekatkan bibirnya ke telinga Zahwa, "Kata-kata saya aneh atau cringe?"

Kali ini Zahwa terkekeh. "Biasa aja. Nggak biasa lihat Mas Afta kayak gini. Sedikit syok bisa jadi." guraunya.

Afta menghela napas pelan. Ia melepas kopiah putihnya, meletakkannya di lantai. Ia tiba-tiba berbaring di paha gadis itu. Afta mendongak menatap wajah Zahwa yang terlihat lebih bulat karena memakai mukenah.

"Kamu tahu, Zahwa. Dulu, waktu saya duduk di kelas 1 SMP. Sebenarnya saya pernah dipaksa masuk pesantren sama umi. Hari pertama, saya membuat heboh seluruh pesantren karena memecahkan pipa air. Semua santri dan guru-guru gotong royong membersihkan kelas-kelas yang banjir karena pipa besar yang saya pecahkan. Hari kedua, ketiga, keempat, saya tidak bisa melakukan apapun karena saya dihukum. Hari kelima, saya menangkap tikus kecil di asrama putra, lalu membuangnya di asrama putri. Ada tiga tikus waktu itu. Asrama putri heboh, jarang sekali ada tikus di pesantren ini. Saya kedapatan lagi dan dihukum kakek."

Mesin Waktu (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang