Ciuman Neraka 5

87 12 0
                                    

Bukan hanya Niko Madawi yang mendesak Kumala agar mengusut kematian Jehans secara tuntas, tapi ada pihak lain yang juga mengharapkan hal yang sama.

Seorang pria berusia 32 tahun yang juga kenalannya Niko, malam itu datang ke rumah Dewi Ular dengan sisa kesedihan masih membayang diwajahnya yang berkumis tipis itu. Pria tersebut adalah Hastomo, seorang ayah dengan dua anak yang
dulu pernah terlibat urusan gaib yang membuat Kumala jadi kenal Niko.

"Mungkin gadis itu perlu kau desak dengan ancaman atau dengan cara apa pun, Kumala. Sebab aku yakin, gadis bernama Rista itu pasti mengetahui penyebab kematian adikku."

"Dugaanku dulu juga begitu, Hastomo. Tapi ternyata dugaan itu meleset. Rista sama sekali nggak ngerti apa-apa. Percuma saja didesak atau diancam dengan model apa pun, jawabannya akan sama dengan yang sudah sudah."

"Masa iya sih adikku mati tanpa penyebab gaib. Kalau toh bukan penyebab gaib, nggak mungkin kematian Jehans akan sedemikian mengerikannya, Kumala. "

"Memang. Penyebabnya memang sesuatu yang bersifat gaib. Tapi melacak kekuatan gaibnya itu yang sulit, karena pada diri setiap tersangka nggak ada kekualan gaib apa pun yang bisa dipakai untuk membunuh korbannya."

Hastomo menarik napas tampak sekali rasa kecewa dan sedihnya yang membaur menjadi satu. Sandhi yang waktu ilu ikut mememani Kumala dalam menerima kedatangan Hastomo juga sempat terheran heran.

Baru malam itu Sandhi tahu bahwa Jehans adalah adik kandung Hastomo, karena menurut Sandhi kedua wajah kakak-beradik itu hanya punya sedikit kemiripan. Wajar jika ia dan beberapa orang lainnya sama sekali tidak menyangka bahwa Jehans adalah adiknya Hastomo.

"Kekuatan gaib pembunuh seperti itu bisa hadir oleh karena beberapa faktor. Salah satu faktor penyebabnya adalah adanya kutukkan, adanya kiriman santet, dan.."

"Kami dari keluarga baik-baik, Kumala," potong Hastomo. "Bukan aku bermaksud sombong, kami sekeluarga bukan berasal dari keturunan biasa-biasa saja."

"Maksudmu?"

"Leluhur kami punya garis vertikal dengan raja-raja Tanah Jawa. Bagaimana pun juga kami adalah masih keturunan ningrat dan terhormat. Rasa-rasanya nggak mungkin dalam diri adikku ada kekuatan gaib kutukan yang menjadi penyebab kematiannya. Kalau memang dia mempunyai darah kutukan, maka mestinya aku pun akan mati seperti dia, karena dalam diriku juga mengalir darah bangsawan yang tentunya ikut tercemar kutukan, kalau benar kematian tersebut disebabkan karena kutukan."

Dengan senyum kalem Kumala berkata. "Kutukan tidak harus mengalir dalam darah satu keturunan, Has. Kutukan juga tidak harus mengalir dalam diri orang berdarah non-bangsawan dan bangsawan asli. Lagipula, apa yang kukatakan tadi hanya sebuah alternatif, bukan maksudku mengatakan bahwa kematian Jehans mutlak karena kutukan."

"Bisa juga karena faktor lain," sahut Sandhi. Ia berani menimpali dalam percakapan seperti itu karena Kumala Dewi tidak pernah membedakan hak bicara kepada orang-orang kepercayaannya, termasuk kepada Mak Bariah, pelayan setianya, atau termasuk kepada Buron, pemuda berambut kucai jelmaan dari Jin Layon yang menjadi asistennya untuk urusan gaib.

Kala itu Buron sedang ditugaskan untuk melacak ke mana perginya gaib pembantai yang telah menewaskan tiga lelaki tampan itu. Jelmaan dari Jin Layon itu selalu mengerjakan tugas-tugas seperti itu tanpa bisa dilihat oleh mata manusia biasa, sehingga kadang-kadang kemunculan nya pun terjadi secara tiba-tiba. Sebab hanya Buron-lah yang bisa menembus alam gaib dan dimensi mistik lainnya.

Sandhi tidak punya kemampuan seperti itu, sebab ia dulunya bekas sopir taksi yang kemudian mengabdi menjadi sopir pribadinya si Dewi Ular.

"Aku tahu kau menyimpan dendam kepada pembunuh adikmu, Has. Paling tidak rasa penasaran, ingin tahu siapa sebenarnya pelakunya dan dengan kekuatan apa ia membunuh Jehans sampai sedemikian rupa sadisnya. Kalau cuma sekedar ingin tahu, cepat atau lambat aku bisa membantumu," kata Kumala setelah termenung sesaat.

"Tapi aku nggak rela kalau kau ingin balas dendam pada pelakunya. Kita belum tabu siapa yang salah sebenarnya." Hastomo pun manggut-manggut, mencoba menghibur hatinya sendiri, dari kekecewaan.

Akhirnya pria yang bekerja di biro iklan itu pun pamit pulang. Namun sebelum Hastomo melangkah meninggalkan teras, tiba-tiba Kumala Dewi mencegahnya dengan sebuah teguran yang bersifat mendadak sekali.

"Tunggu, Has!"

Hastomo menatap gadis cantik jelita berambut panjang yang diurai dengan sisiran belah samping. Sebagian rambutnya yang kiri dijepit rapi. Sebagian lagi dib iarkan meriap lepas. Kumala bukan bermaksud ingin m emamerkan kecantikannya yang memukau dan mengagumkan itu, tapi ia melihat sesuatu yang mencurigakan di wajah Hastomo. Bahkan kini Kumala melepas salah satu jepit rambutnya yang berwarna hitam, sederhana sekali.

"Bawalah jepit rambutku ini," ia menyerahkannya kepada Hastomo.

"Kenapa? Maksudmu apa memberiku jepit rambut ini?" Hastomo bingung walau sudah memegang jepit rambut warna hitam seperti sepasang lidi itu.

"Bawalah sebagai penolak bencana. Jangan lakukan seperti Jehans. Ia telah membuang jepit rambut pemberianku. Seandainya ia tidak membuang jepit rambutku itu, mungkin, peristiwa mengerikan tidak akan menimpanya."

"Ta..tapi kenapa kau sekarang memberiku jepit rambut juga?" hastomo penasaran dan semakin ingin tahu.

"Aku melihat ada tanda-tanda bahaya yang akan mendekatimu." Jawaban bernada tegas tanpa main-main sedikit pun itu membuat hastomo bergidik merinding. Sekujur bulu di tubuhnya meremang tegang.

Agaknya Hastomo lebih percaya dengan kekuatan gaib yang dimiliki Dewi Ular itu ketimbang almarhum adiknya hingga jepit rambut tersebut diterimanya dan diselipkan di bajunya. Terjepit di sana, di samping sebatang pulpen Parker.

"Ke mana-mana bawalah terus jepit rambut itu, ya."

"Okey," jawab Hastomo sambil menganggukkan kepala. "Terima kasih atas bantuanmu, Kumala."

Setelah Hastomo pulang, Sandhi bertanya kepada majikan cantiknya,
"Benarkah ada bahaya yang mengancam Hastomo?"

"Aurora sekeliling tubuhnya mulai memerah."

"Oo..." Sandhi manggut-manggut.

"Apakah setiap aurora seseorang mulai memerah berarti dia dalam ancaman bahaya?"

"Ya. Dan..Jehans pun tempo hari juga demikian. Makanya dia kuberi jepit rambutku. Mudah-mudahan kali ini Hastomo tidak melakukan hal yang bodoh seperti yang dilakukan adiknya."

****

Hastomo memang tidak lebih bodoh dari adiknya. Jepit itu tetap tersemat di tepian saku bajunya. Maka malam yang menghembuskan udara dingin dan menyebarkan ancaman maut bagi nyawa setiap manusia itu dapat dilaluinya dengan aman, tanpa tanda-tanda kematian yang terasa olehnya. Karena pada saat itu ia bertemu dengan relasi bisnisnya di sebuah cafe. Pria berusia lebih muda darinya itu bernama Kahar, manager marketing sebuah perusahaan yang memproduksi minuman suplemen.

Tujuan Hastomo singgah ke Luwis Cafe itu sebenarnya ingin menemui seorang relasi lain yang minggu depan akan menyerahkan proyek pembuatan spot iklan teve kepada Hastomo. Orang tersebut memang sering nongkrong di Luwis Cafe, dan tadi siang mereka sudah janjian untuk bertemu di cafe tersebut. Tapi setibanya di sana, ternyata handphone Hastomo berdering.

Orang tersebut membatalkan pertemuannya karena suatu hal yang amat mendesak. Akhirnya, Hastomo justru bertemu dengan Kahar yang juga batal menemui seseorang di cafe itu.

****

50. Ciuman Neraka✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang