Ciuman Neraka 2

287 11 0
                                    

Sebuah mobil baru saja meninggalkan rumahnya Dewi Ular yang juga dikenal dengan nama populernya: Kumala Dewi. Mobil itu milik seorang lelaki muda berusia sekitar 28 tahun; Jehans Irawan. Ia seorang karyawan bank yang punya posisi penting dan sedang dipromosikan sebagai kepala cabang untuk bulan mendatang.

"Kamu harus lebih waspada dan hati-hati, sebab banyak teman seniormu yang kurang menyukai dengan promosi tersebut. Mereka merasa iri dan tidak rela kalau kamu benar-benar dijadikan sebagai kepala cabang di Pakan Baru nanti," kata Kumala ketika Jehans yang akrab dipanggil Hans, itu meminta pendapat mengenai jabatan yang akan diterimanya bulan depan.

"Mungkinkah mereka akan bermain curang, Kumala?"

"Kemungkinan seperti itu sangat besar sekali peluangnya. Sebab, jujur saja kukatakan padamu, ada tanda bahaya yang kulihat dari sinar matamu saat ini."

"Tanda bahaya!" Hans mulai tampak cemas.

"Aku nggak tahu apakah tanda bahaya itu datang dari rival karirmu atau dari pihak lain, yang jelas dapat merugikan dirimu seumur hidup. Bahkan bisa membuatmu rnengalami bencana fatal!"

"Maksudmu... tanda bahaya berupa guna guna ilmu hitam untuk mencelakaiku, begitu?"

"Kira-kira begitu."

Hans tersenyum berkesan kurang percaya dengan kata-kata Kumala. Sebelum Hans menyatakan rasa kurang percayanya itu, Kumala sudah lebih dulu berkata kepadanya. "Apa alasanmu kurang mempercayai kata kataku, Hans?"

Tentu saja hati kecil Hans merasa terkejut. Tapi ia tutupi dengan senyum ketenangannya. "Begini, Kumala, beberapa hari yang lalu aku pernah diajak temanku untuk pergi ke rumah seorang paranormal, letaknya di luar kota Mungkin kau kenal dengan 'orang pintar' yang bernama Eyang Upas, di Desa Kalijaga."

"Aku mengenalnya baru sekarang, dan melihat rupanya pun baru sekarang," potong Kumala.

"Melihat rupanya baru sekarang?"

"Aku melihatnya lewat kedua bola matamu. Orang itu bertubuh kurus, berjenggot panjang warna abu-abu dengan rambut ikal abu-abu sepanjang bahu, bukan?"

"Be..benar," jawab Hans semakin heran.

"Dia suka mengenakan kalung manik-manik dari biji buah liar yang berwarna coklat kehitam-hitaman, seperti biji salak."

"Hmm, iya, memang benar. Beliau suka mengenakan kalung tasbih seperti yang kau sebutkan itu, Kumala."

Dewi Ular hanya manggut manggut sambil tersenyum tipis. Kalem dan anggun kecantikannya yang terpampang di depan Hans malam itu. Hans adalah temannya Niko Madawi, reporter teve swasta yang sedang ada hasrat kepada Kumala.

Karena teman dekat, maka Niko menganjurkan Hans agar datang menemui kekasihnya untuk meminta saran tentang rencana pengangkatan nya sebagai kepala cabang di bulan depan.

Tapi agaknya Hans datang menemui Kumala bukan bersungguh-sungguh meminta saran, melainkan sekedar ingin menikmati kecantikan anak bidadari asli dari Kahyangan itu, sekaligus ingin menguji kehebatan kekuatan ilmu supranaturalnya Kumala. Karena apa yang didengar dari Niko tentang kehebatan Kumala dianggapnya hanya sebagai bualan belaka.

"Apa yang kau dapat dari Eyang Upas itu?"

"Sebilah keris kecil dari bahan kuningan berbentuk seperti ular." Lalu, Hans mengeluarkan keris kecil yang disimpan dalam dompetnya. Ia menyerahkannya kepada Kumala dengan senyum bangga terhadap barang pusaka pemberian Eyang Upas.

Tapi sebelum keris itu dipegang oleh Kumala, gadis cantik jelita yang mirip anak remaja berpotensi sebagai foto model itu sudah lebih dulu tertawa dalam senyum lebar dan berkata dengan suara yang tegas.

"Barang itu kosong."

Hans jadi menarik kembali benda yang sudah dipegangnya itu.

"Kosong bagaimana?"

Kumala Dewi memandangi benda di tangan Hans seraya menambahkan keterangannya, "kosong tanpa isi apa-apa. Nggak ada kekuatan gaib di dalamnya. Sama saja benda mati biasa Nggak beda jauh dengan sebuah
bolpoint. Isinya cuma tinta. Itu masih mending, tapi benda yang kau pegang itu, jangankan kekuatan gaib, tinta pun nggak ada. Jadi masih lebih berharga dari bolpoint yang ada di saku bajumu itu, Hans."

"Ah, masa sih?"

"Kalau nggak percaya, ya silakan kau simpan saja dalam dompetmu. Fungsinya hanya membuat dompetmu semakin berat satu ons persis."

Agak kesal hati Hans mendengar penjelasan itu, Ia merasa kecewa terhadap penilaian Kumala yang berkesan meremehkan benda pusaka yang sudah telanjur diyakininya sebagai penolak gangguan gaib dari manapun juga datangnya. Dengan nada kesal, Hans pun berkata seraya memasukkan kembali keris kecilnya ke dalam dompet.

"Mungkin hanya orang-orang tertentu yang bisa melihat isi benda pusaka ini. Sebab, Eyang Upas pun mengatakannya demikian. Tidak sembarang orang bisa mengetahui isi Keris Naga Buntung ini."

Kumala tak sanggup menahan tawa begitu mendengar nama pusaka: Keris Naga Buntung. Tapi tawanya buru-buru ditutup dengan tangan, berusaha dikendalikan supaya tidak berkepanjangan dan tidak menyinggung perasaan Hans.

"Ada baiknya kalau kau bawa jepit rambutku ini," kata Kumala sambil melepaskan jepit rambut berwarna hitam.

Biasa-biasa saja. Hans sering melihat adik perempuannya mengenakan jepit rambut seperti itu. Bahkan Hans juga sering melihat jepit rambut seperti itu dijual orang di kios-kios atau toko-toko kecil di mana-mana. Hans menjadi sangsi dan semakin meremehkan jepit rambut itu. Tapi ia tetap menerimanya dengan senyum tawar.

"Selama kau membawa jepit rambutku itu, kekuatan gaib dari mana pun nggak bakalan bisa menyentuhmu, apalagi mencelakaimu, sangat mustahil bisa terjadi. Maka kuharap, jangan pernah kau lupa membawa jepit rambutku itu, Hans. Demi keselamatanmu!"

"Mudah-mudahan aku akan ingat selamanya," kata Hans bernada malas-malasan.

Kumala Dewi hanya angkat bahu tanda terserah dengan apa pun keputusan dan keyakinan hati Hans. Gadis anak Dewa Permana dan Dewi Nagadini itu menarik napas dalam dalam saat menghantarkan kepulangan Hans sampai depan teras rumahnya. Entah apa arti tarikan napas Kumala itu, yang jelas Hans segera ter tawa kecil dalam mobil yang dikemudikan sendiri. Suzuki Side Kick hitam itu meluncur dengan tenang di kesunyian malam, manakala jalan-jalan mulai terasa lengang.

"Jepit rambut kayak gini dikasihin aku, uuuh... di rumah pun ada banyak kalau cuma barang kayak gini sih!" gerutu Hans sambil menurunkan kaca pintu, kemudian jepit rambut itu diambilnya dari saku d an dibuang sembarangan.

Duaaaaarrr...!

Hans terpekik kaget mendengar suara ledakan setelah ia membuang jepit rambut itu. Buru-buru ia kendalikan setiran mobil karena ia segera sadar bahwa ban belakang meletus. Jalan mobil pun mulai terseok-seok karena ban belakang sebelah kanan kempes total. Mobil masih bisa dikuasai keseimbangannya, sehingga Hans segera membawanya ke tepian dan berhenti di tempat yang sepi itu, 25 meter dari tiang lampu mercury yang memancarkan cahaya kuning terang.

"Sialan! Kenapa ban mobilku tahu-tahu bisa meletus begini, ya!" pikirnya sambil bergegas turun dan memeriksa ban belakang.

Hans terkejut melihat ban yang meletus itu ternyata mengalami keanehan. Ban itu meletus karena ada benda yang menancap dari samping luar. Benda yang menancap mirip paku itu ternyata adalah jepit rambut yang dibuangnya tadi.

Hans terbelalak tegang melihat jepit rambut itu bagaikan telah mengutuk perjalanan malamnya. "Kenapa jepit rambut ini bisa menancap di
ban yang tebalnya seperti ini? Ban ini masih baru, masih keras, nggak mungkin bisa tertancap tembus oleh benda selunak ini. Tapi, kenyataannya begitu, mau dibilang apa!"

Hans mencabut jepit rambut tersebut.

Sleeb...!

Mudah sekali.

"Brengsek!" makinya jengkel sambil dibuang ke belakang. Tanpa disangka-sangka saat itu ada sebuah sedan sedang melintas berlawanan arah. Sedan itu tiba-tiba terbanting ke kiri pada saat terdengar letusan yang lebih mengejutkan lagi.

Bueeeerrr...!

"Gila!"

Hans bangkit secepatnya dan memandang sedan tersebut dengan bertambah tegang.

****

50. Ciuman Neraka✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang