Ciuman Neraka 3

123 13 0
                                    

Hans bangkit secepatnya dan memandang sedan tersebut dengan bertambah tegang. Ternyata jepit rambut tadi menancap pada ban belakang sedan tersebut dan mengakibatkan ban sedan meletus dengan suara keras membahana.

Si sopir sedan kebingungan mengendalikan bantingan keseimbangan mobil. Hampir saja menabrak tiang listrik di samping kirinya kalau tidak buru-buru menginjak rem dan berhenti total dalam keadaan melintang jalan.

Hans ikut mendekati sedan itu, dan menjadi tahu bahwa penyebab ban meletus itu adalah jepit rambut yang menancap kuat seperti yang dialami oleh ban mobilnya sendiri. Tentu saja Hans berpura-pura tidak tahu menahu tentang jepit rambut tersebut. Sopir sedan memaki-maki sendiri dan mencabut jepit rambut itu, lalu memasukkan ke dalam lubang gorong-gorong di bawah trotoar jalan.

Hans pun kembali ke mobilnya, bermaksud ingin menggantinya dengan ban serep yang dipajang di belakang mobil. Namun niatnya itu jadi tertunda, bahkan mungkin akan batal total karena ia melihat keanehan lain yang membuat bulu kuduknya merinding. Ternyata ban yang meletus itu dalam keadaan utuh seperti sediakala. Tanpa kempes sedikit pun. Tidak ada tanda bekas lubang sebesar jarum pun. Dan dalam kondisi siap jalan kembali, tak perlu diganti dengan ban cadangan.

"Aneh. Kenapa jadi begini, ya?" sambil Jehans menendang-nendang ban tersebut. Ternyata cukup angin, keras dan seperti tidak pernah mengalami kerusakan sedikit pun.

"Kalau begitu jepit rambut tadi benar-benar punya kekuatan gaib yang semestinya kurawat dan, aduh, sayang sekali. Kulihat tadi si sopir sedan itu membuatnya ke dalam gorong-gorong di bawah trotoar.
Nggak mungkin bisa kuambil kembali."

Hans menghela napas, menahan rasa sesalnya dalam hati. Tiba-tiba seraut wajah manis muncul dari samping kiri mobilnya. Teguran lembut itu hampir saja membuat Hans terlompat kaget.

"Hei, boleh numpang sampai depan, om?"

Ternyata teguran dan sapaan lembut itu berasal dari seorang gadis ABG berambut pendek. Senyum gadis itu terlihat menawan sekali, karena cahaya lampu mercury meneranginya dengan jelas. Hans terpukau sesaat karena tak menyangka, akan mendapat sapaan selembut itu.

"Kamu mau ke mana, dik?" tanya
Hans dengan pandangan terpana.

"Mau ke daerah Tomang, om. Kalau boleh sih saya mau numpang sampai Semanggi aja deh."

"Kenapa sampai Semanggi aja? Ikut aja sampai Tomang, toh aku mau ke arah Pluit."

"O, iya deh kalau begitu. Kebetulan sekali."

"Naiklah, tapi tunggu, sebutkan dulu namamu?" sambil Hans memancing dengan senyunan menggoda, dan gadis ABG itu ganti membalas dengan senyuman nakalnya.

"Nama saya Rista, om."

"Panggil aku Abang aja. Bang atau Kak. Namaku Hans."

Mereka pun segera meluncur meninggalkan tempat sial yang membuat dua ban meletus, tapi akhirnya kembali dalam keadaan normal. Tampaknya ban sedan itu pun mengalami hal yang sama, terbukti begitu mobilnya Hans pergi, sebentar kemudian mobil sedan itu juga pergi tanpa harus mengganti ban belakangnya.

Dalam perhitungan benak Hans, gadis ABG itu jelas-jelas disimpulkan sebagai gadis nakal, Tak mungkin ia gadis baik-baik keluyuran semalam itu di tempat yang rawan tadi. Hans pun memanfaatkan kesempatan tersebut, karena ia menyukai tipe gadis mungil berkulit bersih dan bermata bening indah itu.

"Dari mana kamu tadi, Ris?"

"Dari rumah teman, Kak. Ada teman ultah, aku terpaksa datang. Habis dia teman karibku sejak kecil sih."

"Kenapa pulangnya sendirian? Nggak minta diantar pacar aja?"

"Pacar apaan?" Rista tertawa dengan suara renyah. Enak sekali didengar, menghadirkan selusin khayalan mesra di benak Jehans.

"Memangnya kamu belum punya pacar?" pancing Jehans.

"Kalau udah punya sih nggak bakalan pulang sendiri, Kak."

"Kenapa nggak cari pacar?"

"Nggak ada yang cocok. Banyak sih teman cowok, tapi, nggak sesuai dengan selera hati. Kalau dipaksain nanti malah bikin kacau aja kan?"

"Memangnya teman cowok yang kayak apa sih yang cocok dengan selera hatimu?"

"Yaahh, yang, yang..kayak Kak Hans deh," sambil Rista tertawa malu-malu.

Hans meliriknya dengan senyum berseri-seri. Hatinya mulai berdebar-debar, karena jawaban Rista dianggap point pembuka jalan menuju ke lembah asmara.

"Sekarang sudah pukul dua belas kurang dikit lho. Apa kamu nggak takut dimarahi orang tua kalau pulang semalam ini, Ris?"

"Saya tinggal di tempat kost kok."

"Oo, tempat kost-nya di mana?"

"Ya di Tomang saja. Kak Hans mau mampir dulu nanti?"

"Boleh juga sih. Tapi, tapi aku mau mampir ke hotel dulu, mau menemui temanku. Kamu mau ikut?"

"Asal pulangnya dianterin, mau aja sih," jawab Rista dengan enteng sekali, tanpa kesan ragu-ragu sedikit pun.

Hans sudah dapat memahami bahwa gadis seperti Rista pasti terlalu sering dibawa keluar-masuk hotel oleh lelaki hidung belang. Tapi karena Hans menyukai tipe gadis seperti Rista, maka ia tidak pedulikan lagi kesimpulan tersebut.

"Kalau aku ternyata nanti nginep di hotel itu bagaimana? Nggak bisa nganterin kau dong, Ris."

"Yaaah.. gimana ya?" Kali ini Rista seperti dalam kebimbangan.

"Ikut nginep aja sekalian, mau nggak?"

"Kalau..kalau Kak Hans nggak keberatan sih, saya mau-mau aja. Asalkan..asalkan..."

"Asalkan apaan?" desak Hans sambil tertawa girang.

"Nggak apa-apa deh," Risia tak jadi melanjutkan ucapannya.

"Asalkan pulangnya dapat uang buat naik taksi, begitu?"

"Itu sih terserah... terserah Kakak aja," jawab Rista semakin tampak tersipu malu.

"Kalau soal itu sih gampang, Ris. Hmmm, sebaiknya kita nggak usah ke hotelnya temanku aja, ya. Kita cari hotel lain, ya?"

"Boleh aja," jawab Rista tanpa beban sedikit pun.

Mereka pun menemukan hotel berkelas menengah. Hans segera booking kamar di hotel tersebut. Rupanya Rista sudah sering dibawa pria hidung belang ke hotel itu, sehingga salah satu pelayan hotel menyapanya dengan lirih.

"Hallo, Ris, kok baru nongol sekarang nih?"

"Ya." Hanya itu jawaban Rista sambil menyembunyikan rasa malu. Tak enak hati terhadap Hans yang meliriknya dengan senyum penuh makna.

Hans berlagak cuek, lalu membawanya masuk ke sebuah kamar yang letaknya paling sudut. Setelah mereka berada di dalam kamar yang sunyi dan dingin karena udara ber-AC itu, Rista justru melepas rompinya, melemparkan rompi itu di sofa kecil, juga meletakkan tasnya di meja rias. Ia langsung berdiri di depan cermin rias, merapikan rambutnya.

Dan saat itu Hans mendekat dari belakang, kemudian memeluknya sambil memberikan ciuman di telinga Rista. "Kamu cantik sekali, Rista. Menggairahkan sekali bagiku."

"Ah, Kak. Jangan begitu, ah...!" Rista berlagak meronta, tapi dengan gerakan lemah, tak berarti apa-apa.

Ketika Hans mencium pipinya, Rista justru mendesah. Wajahnya berpaling ke belakang dan akhirnya ciuman Hans menyentuh bibir mungil ranum itu.

Rista pun membiarkan bibirnya dilumat Jehans, justru lidahnya bereaksi dengan ganas, sehingga bibir Jehans ganti dilumatnya penuh gairah.

****

Petugas hotel yang ada di lobby tiba-tiba terkejut oleh suara teriakan histeris yang panjang dan memecah kesunyian malain.

"Aaaaaaaaaaaaa...!"

Mereka yang ada di lobby terlompat dari tempat duduknya dan saling berlarian menuju ke kamar ujung.

"Ada apa itu?"

"Mana kutahu!" seru petugas lainnya.

Beberapa tamu hotel ikut keluar dari kamarnya masing-masing dan memandang ke arah kamar paling ujung. Wajah mereka diliputi ketegangan yang diikuti meremangnya bulu kuduk mereka.

****

50. Ciuman Neraka✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang