Ciuman Neraka 1

685 13 0
                                    

PEDAGANG sate keliling itu namanya mudah diingat dan mudah diketahui oleh siapa pun, karena pada kaca gerobak satenya ia menuliskan namanya sendiri dengan jelas:

"SATE CAK SOLEH"

Maka siapa pun yang bertemu dengannya, ia akan mengetahui nama si pedagang sate itu adalah Cak Soleh. Dan memang di beberapa daerah, terutama di sekitar perumahan Bendungan Hilir, nama Cak Soleh sudah bukan asing lagi. Seolah-olah sudah menjadi jaminan bahwa sate Cak Soleh adalah hidangan malam yang tidak pernah mengecewakan para pembelinya.

"Aneh... Sejak tadi saya kok jadi keliling keliling di sekitar sini terus sih? Apa ndak ada jalan lain kecuali jalanan ini?" guman hati Cak Soleh yang merasa heran.

Ia merasa sejak tadi hanya berputar-putar di sekitar pinggiran Kuburan Karet. Padahal menurutnya ia sudah berjalan jauh, tapi sebentar-sebentar ia sadari bahwa gerobak satenya didorong mondar mandir di jalanan depan Kuburan Karet.

"Tueeeeee...! Suaaaateeeee...!!" Cak Soleh sengaja berteriak keras-keras untuk meredakan perasaan herannya. Rasa heran atas keanehan yang dialami telah menimbulkan rasa takut yang merongrong ketenangan hatinya. Selama menjadi pedagang sate ayam keliling baru sekarang Cak Soleh dihinggapi perasaan takut yang membuat sekujur tubuhnya jadi merinding berkali-kali

"Aduh,.malam sudah sepi, ndak ada manusia sepotong yang lewat, sate ayam kenapa jadi dar-mandir terus begini? Apa ndak ada jalan lain yang bisa saya lewati selain jalan kuburan ini?!" Cak Soleh menggerutu dalam hatinya dengan aksen Madura-nya yang kental.

Memang aneh. Malam itu menurutnya memang tidak seperti malam biasanya. Padahal masih pukul sebelas lewat sedikit, tapi jalanan sudah terasa lengang, sepi sekali. Nyaris tak ada kendaraan yang lewat di jalanan tersebut. Tak satu pun orang yang kelihatan berlalu di sekitar jalan itu. Anehnya lagi, sepertinya Cak Soleh kehilangan arah langkahnya. Ia merasa sudah menyeberang jalan dan menjauhi Kuburan Karet, tapi beberapa saat kemudian ia sadar bahwa ternyata dirinya masih berada di sekitar jalanan pinggir Kuburan Karet yang luas itu.

"Pasti ada yang ndak beres ini!" geramnya jengkel-jengkel takut,
"Pasti ada yang mau ganggu saya ini. Lho... disangkanya Cak Soleh takut sama tan-setan kuburan sini?! Hmmmh, belum tahu dia. Tak sembur satu kali, pasti matek dua kali dia!"

Dari kejauhan tampak sebuah bis kota berhenti di halte. Ada dua orang yang turun di halte itu. Mereka adalah gadis-gadis berpakaian sexy, masing-masing menggantungkan tas di pundaknya. Melihat dandanan dua gadis itu, Cak Soleh mencibir dalam hati sambil sesekali berpikir mencari cara untuk keluar dari daerah tersebut.

"Bang, sini...!" panggil salah satu dari mereka. Cak Soleh yang memang sedang berjalan mengarah ke halte sempat tersenyum sinis tanpa diketahui kedua gadis tersebut.

"Rek-perek itu mau apa lagi? Kemarin yang satu makan sate ndak cukup doitnya, sekarang apa mau makan sate secara gratis? Aduh... sori saja kalau mereka mau makan gratis, bisa tak bacok-bacok giginya jadi delapan potong!"

"Bang, bikinin sate sepuluh tusuk dong. Lontongnya dua, ya?"

"Sampean mau makan pakai bayar apa? pakai alasan nggak punya doit, Neng? Kalau ndak punya doit, saya ndak sanggup bakarin sate buat sampean berdua, Neng."

"Idiih, si Abang... menghina, ya? Dikiranya kita nggak punya duit, Ris! Tunjukin duit kita, Ris!" Yang dipanggil Ris segera mengeluarkan sejumlah uang dan saku celana jeans-nya.

"Nih, lihat.... Duit kami cukup buat bayar semua satemu, Bang!"

"Oo, ya kalau begitu saya sendiri lega, Neng. Soalnya sampean kemarin makan sate doitnya kurang seribu rupiah, kan?"

"Alaa... bakarin dua puluh deh! Jangan banyak omong. Ntar kekurangan yang kemarin gue bayar juga!" kata Rista sambil bersungut sungut, lalu bicara kasak-kusuk kepada Erna, teman sesama perek.

50. Ciuman Neraka✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang