Ciuman Neraka 8

54 13 0
                                    

Herlis dan waitress yang bernama Fenna itu sama-sama jatuh saling tindih bersama minuman yang mengguyur tubuh mereka. Namun Herlis sempat tak sadarkan diri selama sekitar dua menit kurang. Perhatian para tamu pub bukan tertuju pada Herlis dan Fenna, melainkan ke arah Yaksa. Tubuh pria muda itu mengeluarkan asap berbau daging bakar. Beberapa pelayan lelaki mengguyurkan air es ke tubuh Yaksa yang kelojotan di lantai, namun justru asap yang keluar dari tubuh Yaksa semakin banyak, Jeritan Yaksa pun kian melengking tinggi, memilukan hati. Sampai akhirnya suara jeritan tersebut terhenti dan asap pun hilang.

Tahu-tahu keadaan Yaksa sudah kaku dengan kulit tubuh seperti babi panggang, rambut kepalanya habis. Tapi anehnya pakaian yang dikenakan Yaksa sama sekali tidak ikut terbakar. Sedikit pun tak ada yang hangus. Yaksa pun tewas dalam keadaan mengerikan. Semua tamu pub menjadi panik dan berhamburan keluar sambil melontarkan jeritan ketegangan. Pramuda sendiri terkesiap, seperti terpaku kakinya di tempatnya berdiri, berjarak 5 meter dari tempat mayat Yaksa meringkuk kaku dan kecoklat-coklatan.

Herlis mengakui seluruh perbuatannya, dalam arti, bahwa ia memang berciuman dan saling raba dengan Yaksa. Namun menurutnya hanya itu yang ia lakukan, tanpa menggunakan zat kimia apa pun yang dapat menimbulkan panas api membakar tubuh Yaksa. Ia justru merasa heran serta sempat marah ketika tubuhnya didorong Yaksa seperti dibuang begitu saja. Kasar sekali tindakan itu, menurutnya. Tapi karena ia langsung pingsan sesaat, maka rasa sakit hatinya terlupakan. Semakin hilang rasa tersinggungnya itu setelah melihat Yaksa telah menjadi mayat. Gadis yang berprofesi sebagai wanita malam high class itu menangis terisak-isak, nyaris tak bisa memberikan keterangan apa pun. Ia terlihat sebagai orang yang sangat shock mengalami peristiwa seperti itu. Ia sangat ketakutan sekali.

Sampai akhirnya guncangan jiwanya itu menjadi pulih netral seperti sedia kala setelah kedatangan Dewi Ular. Tengkuknya dipegang oleh Kumala, selain mengalirkan hawa sejuk penenang jiwa, juga mendeteksi kekuatan gaib yang ada pada diri Herlis. Tapi anehnya, Kumala merasa tidak ada kekuatan gaib apa pun pada diri gadis berdada montok itu.

"Saya takut sekali Sangat takut. Padahal beberapa hari yang lalu saya melihat kematian seperti itu. Saya sudah merasa ngeri. Tapi kenapa sekarang justru saya berhadapan langsung dengan korban kematian seperti itu?"

"Kapan kau melihat kematian seperti itu?" tanya Kumala.

"Beberapa hari yang lalu, waktu korban yang bernama Kahar itu tewas dan perempuan yang bersamanya hampir jatuh terpelanting, untung berhasil kutangkap tubuhnya. Saat itu aku sudah berjanji nggak mau melihat lagi mayat seperti itu. Aku nggak bisa tidur selama dua hari dua malam. Tapi, ooh... kemapa sekarang hal itu kualami sendiri?"

"Aneh...," gumam Kumala pelan. Ia berkata kepada Sersan Burhan. "Nggak ada getaran gaib apa pun pada dirinya. Mustahil dialah penyebab kematian misterius itu."

"Tapi beberapa orang melihatnya saat ia ciuman dengan korban," timpal Pramuda yang merasa sangat prihatin temannya mengalami nasib sebegitu menyedihkannya.

"Mungkin ada pihak lain yang nggak suka melihat dia ciuman dengan korban dan ini lepaskan kekuatan gaibnya untuk membakar korban."

Kumala Dewi segera memberi perintah kepada Buron. "Cari di sekitar para tamu yang memiliki gaib itu!"

Buron tidak langsung menghilang secara gaib, seperti biasanya. Ia pergi keluar dari ruang manager pub. Ia tidak mau pamer ilmu di depan orang banyak, takut kena damprat Kumala. Maka satu persatu tamu pub yang belum diizinkan pulang oleh pihak kepolisian diperiksa dengan kekuatan matanya. Ternyata hasilnya.nihil.

"Dia sudah kabur lebih dulu," kata Buron memberi laporan kepada Kumala Dewi.

"Belum ada seorang pun tamu yang meninggalkan cafe ini," sahut Sersan Burhan.

Buron berkata. "Memang belum seorang pun tamu yang meninggalkan pub ini," sambil ia meralat. "Tapi kekuatan gaib dapat pergi kapan saja dan tidak bisa dicegah, Sersan."

Dewi Ular hanya menghembuskan napas panjang. Kesal hatinya.

"Herlis, apakah kau melihat sesuatu sebelum berciuman dengan Yaksa?" tanya Pramuda.

Gadis itu menggeleng. Tapi sorot matanya menandakan ia tak mengerti betul apa maksud Pramuda.

"Misalnya seberkas sinar aneh yang menyerang Yaksa atau benda aneh yang mengenai tubuh Yaksa?"

"Suasananya gelap. Saya nggak bisa lihat apa-apa kecuali melihat wajah Yaksa."

"Apakah ada perubahan pada wajah Yaksa?"

Herlis menggeleng lagi. "Saya memejamkan mata waktu bibir saya dikecup oleh Yaksa. Saya menikmati dan..."

"Ya, sudah," potong Kumala. Merasa riskan mendengar keterangan sedetil itu.

Karena Yaksa termasuk teman lamanya Pramuda, maka Kumala Dewi ikut hadir dalam upacara pemakamannya pada esok siangnya. Kumala hadir bukan saja bersama Pramuda, tapi juga bersama Niko Madawi dan Sandhi.

Mereka mengikuti upacara pemakaman itu sampai selesai. Bahkan ketika para pelayat mulai pergi meninggalkan makam baru, Kumala masih berdiri dalam jarak tujuh meter memandangi makam itu.

"Kita ke mobil, Dewi," bisik Niko Madawi sambil merenteng kamera handycam-nya. Kamera itu tak pernah lepas darinya, karena sewaktu-waktu melihat kejadian aneh yang dapat dipakai untuk materi acara 'Lorong Gaib"-nya di televisi, ia dapat merekamnya dengan cepat.

Tadi pun ia merekam pemakaman jenazah Wijayaksa sebentar, seperti yang dilakukan sewaktu menghadiri pemakaman Kahar dan Jehans. Tujuannya hanya sekedar sebagai pelengkap mater berita gaib dalam penayangan acara 'Lorong Gaib"-nya minggu depan. Namun agaknya rekaman itu punya makna sendiri bagi Kumala Dewi.

Bisikan Niko tadi menyadarkan Kumala dari pandangan matanya yang tertuju pada makam baru tersebut. Gadis itu pun melangkah diiringi Niko dan Sandhi, sementara Pramuda sudah berjalan lebih dulu bersama seorang investor yang kenal dekat dengan almarhum Wijayaksa.

"Aku menemukan sesuatu yang ganjil," katanya pelan, entah ditujukan pada siapa.

Tapi Niko segera menyahut dengan pelan juga. "Keganjilan apa maksudmu?"

"Nama korban."

"Ada apa dengan nama korban?" tanya Sandhi setelah mereka sama-sama berada dalam satu mobil. Dari jok belakang, bersebelahan dengan Niko. Kumala memperdengarkan suaranya yang terasa datar dan tawar.

"Nama lengkap korban selalu diawali dengan gelar kebangsawanan. Raden, Raden Mas, Andy dan Sutan...."

"Sutan Bahandi Rahmat," sebut Niko bernada mengenang seseorang.

"Rahmat adalah korban kesekian setelah Paulus...," sahut Kumala.

Sandhi menggumam pula. "Raden Paulus Handaka, alias Paul Himm. benar juga, kayaknya semua korban punya gelar bangsawan sesuai daerah asal masing-masing, ya. Seperti tadi. RM Wijayaksa Pambudi. Aku yakin singkatan RM di depan nama Yaksa bukan berarti Rumah Makan, pasti kependekan dari Raden Mas."

"Begitu pula huruf F di depan nama Jehans," tambah Kumala.

"Jangan-jangan apa yang kau katakan kepada Hastomo itu benar. Ingat nggak waktu Hastomo menyinggung-nyinggung tentang darah kebangsawanannya?"

"Ya, tapi aku belum tahu apakah benar ada unsur kutukan dalam darah biru mereka itu."

"Tapi kenapa Hastomo nggak jadi korban? Kenapa malam itu justru Kahar yang jadi korban?"

"Hastomo dan Kahar sama-sama darah bangsawan, tapi Hastomo membawa jepit rambutku. Seandainya ia tidak membawa jepit rambutku, mungkin dialah yang jadi korban saat kencan dengan Lianni."

"Hanya dengan jepit rambut saja cewekku ini bisa menolak datangnya malapetaka. Hebat sekali dia. Nggak ada ruginya kalau hubunganku ini dilanjutkan kejenjang perkawinan, sebab punya istri macam dia rasa-rasanya punya polisi asuransi jaminan hidup kekal. Wah, ngaco banget otakku jadinya. Hii, hii, hii...."

Niko tertawa sendiri dalam hatinya.



****

50. Ciuman Neraka✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang