Bab empat puluh enam

1.1K 115 8
                                    

Setelah kejadian ribut-ribut di koridor yang menyebabkan kami harus terusir dari rumah sakit, Mas Agas mengajakku untuk meluruskan segala kejadian empat tahun lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah kejadian ribut-ribut di koridor yang menyebabkan kami harus terusir dari rumah sakit, Mas Agas mengajakku untuk meluruskan segala kejadian empat tahun lalu.

Dalam ruangan berukuran 4×5 meter bersuhu dua puluh derajat. Aku, Mas Agas, Pak Rion, Eliana, Mas Amar, serta Pak Dwi Aji dan Ibu Kinasih duduk di sofa yang mengelilingi meja kaca hitam di mana tersaji tujuh cangkir teh hangat agar pembicaraan dapat lebih santai meski ketegangan tetap mendominasi ruangan tersebut.

Masing-masing dari mereka tidak ada yang membuka suara. Pak Dwi Aji hanya bisa memejamkan mata dengan sesekali mengusap wajah gusar kemudian membaca pesan yang sebelumnya dikirim oleh Pak Rion.

"Saya sudah minta Rafael untuk jaga Kara sementara waktu karena Agastya bilang ada hal yang mau kalian sampaikan tentang kejadian empat tahun lalu. Apa itu?" Suara Pak Dwi Aji terdengar berat, tetapi tetap tenang karena belum tahu duduk permasalahan yang ingin disampaikan Pak Rion juga Mas Agas.

"Tentang kejadian empat tahun lalu, sebetulnya kami ingin segera melupakan masalah itu. Itu terlalu pahit untuk kembali dibuka." Ibu Kinasih bersuara. "Kami sudah merelakan apa yang terjadi pada Dhiwangkara. Dhiwa sekarang sudah baik-baik saja, itu yang terpenting."

Sama seperti papa, rupanya Ibu Kinasih memilih menyebut Dhiwangkara alih-alih menyingkat namanya menjadi Kara.

"Arion, sebetulnya ada apa? Kenapa kamu diam? Kamu tahu kamu adalah orang yang paling papa percaya untuk segala hal mengenai Dhiwangkara, 'kan?"

Pak Rion beringsut dari sofa dan berlutut di hadapan Pak Dwi Aji. Perlahan, isakkannya terdengar samar dengan kepala yang senantiasa menunduk. "Maaf karena aku sudah lalai untuk menjaga Kara, Pa. Karena aku, Kara harus mengalami kejadian empat tahun lalu."

"Kamu nggak perlu meminta maaf, Arion. Kamu sudah melakukan itu berulang-ulang, bahkan seumur hidup kamu setelah kecelakaan itu."

Aku lihat Pak Dwi Aji berusaha membangunkan Pak Rion. Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi pada Pak Rion pasca kecelakaan empat tahun lalu yang dialami Kara, tetapi mendengar cerita Pak Dwi Aji, aku yakin Pak Rion mengalami trauma yang begitu mendalam.

"A-aku ... aku ...."

"Dugaan saya terbukti benar, Om. Kecelakaan Kara bukan murni kecelakaan, itu ulah campur tangan seseorang." Mas Amar akhirnya bersuara. "Dan dia ...."

"Tidak. Saya percaya bukan Arion yang melakukannya. Arion tidak mungkin melakukan itu pada adiknya sendiri. Tidak." Pak Dwi Aji turun dan memeluk Pak Rion. "Saya mempercayainya lebih dari diri saya sendiri."

"Om ...."

"Saya tidak mau lagi dengar apa pun, Amar." Pak Dwi Aji sama sekali tidak mengalihkan tatapannya dari Pak Rion. Ia lebih memilih untuk menenangkan Pak Rion dan membawanya kembali ke sofa.

"Ri! Lo jangan diam aja. Pak Dwi Aji cuma dengar apa kata lo."

Aku lihat Pak Rion menggeleng memberi respons pada Mas Amar. Sepertinya Pak Rion tahu bahwa suaranya akan didengar oleh Pak Dwi Aji dan itu akan menyakiti Eliana. Jika ada predikat pria paling mencintai perempuan tanpa mengharapkan balasaan, mungkin Pak Rion berhak mendapatkan penghargaan itu karena ia sangat melindungi Eliana.

Don't Find Me In Your Memories ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang