bab sepuluh

3.2K 299 10
                                    

Aku mengembuskan napas beberapa kali, mengumpulkan niat sebanyak-banyaknya untuk mengetuk pintu bertuliskan jabatan CEO yang ada di depanku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku mengembuskan napas beberapa kali, mengumpulkan niat sebanyak-banyaknya untuk mengetuk pintu bertuliskan jabatan CEO yang ada di depanku.

"Masuk." Suara samar terdengar setelah beberapa detik aku mengetuk pintu dengan kekuatan sepelan mungkin. Untuk kesekian kalinya aku mengembuskan napas panjang sebelum mendorong pintu secara perlahan.

Pandangan warna hitam, putih dan abu-abu langsung tersaji begitu aku memasuki ruangan berukuran 4x4 meter tersebut. Satu dinding yang ada di belakang berwarna abu-abu, tempat sang pemilik ruangan meletakkan segala gambar dan catatan-catatan kecil sebagai pengingat. Aku mengerutkan kening, agaknya kertas yang tertempel pada dinding tersebut terlalu banyak hingga membuat kesan berantakan meski kreatif dalam satu waktu.

Memutuskan untuk abai dengan dengan dinding dengan kertas tempel tersebut, aku melangkah pada meja utama, menghampiri dua pria yang sejak kedatanganku berdiri seolah menyambut seseorang yang sejak tadi ia tunggu. Apa dia tidak sabar untuk memberikan eksekusi?

Dengan gestur tangan, Kara meminta Pak Agastya untuk keluar ruangan. Pria itu mengangguk patuh, tanpa ekspresi berarti menggeser kursi dengan empat roda untuk mempersilakanku duduk.

Sejak semalam, aku menimbang tentang hal apa yang akan Kara katakan jika ia berada di dalam satu ruangan denganku seperti sekarang. Namun, hingga suara pintu yang ditutup oleh Pak Agastya berbunyi pria yang kini duduk di depanku ini belum juga membuka suara.

"Entah perasaan saya saja, atau kamu memang terlihat seperti habis menangis semalaman?"

Itu pertanyaan pertama yang keluar dari bibir Kara setelah diam untuk beberapa saat. Aku memberanikan diri untuk menatap wajahnya. Dengan mata memicing, pria itu menumpukan kepalanya dengan tangan kiri.

"Mak-maksudnya, Pak?"

"Kamu ada masalah, Chysa?" tanyanya kemudian.

Gelengan kepala menjadi jawabanku atas pertanyaannya yang tidak penting itu. Aku melirik jarum jam yang ada di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi, ini waktunya aku memulai pekerjaan jik tidak ingin mendapatt teguran dari Pak Rion karena tidak dapat mengatur waktu.

"Maaf, Pak. tapi ini sudah jam sepuluh. Apa ada yang ingin bapak sampaikan pada saya?" Aku memilih untuk mempercepat pertemuanku dengan Kara. Jujur saja, aku masih tidak nyaman harus berada di dekatnya untuk waktu yang cukup lama. "Saya minta maaf untuk kejadian semalam, Pak. Saya enggak lihat bapak waktu tiba-tiba datang dari arah berlawanan."

"Saya sudah tidak mempermasalahkan itu."

Tidak lagi mempermasalahkan? Lalu, kenapa dia memintaku untuk tetap datang ke ruangannya pagi ini? Apa ada hal lain yang mengganjal?

"Sebetulnya saya ingin memastikan sesuatu. Apa sebelumnya kita pernah bertemu atau saling kenal? Karena sepertinya wajah kamu enggak asing buat saya."

Aku berusaha mati-matian untuk tidak mengubah ekspresi menjadi terkejut ketika mendengar apa yang dilontarkan oleh Kara. "Maaf. Maksud bapak?"

Don't Find Me In Your Memories ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang