Extra Part ( Kara's POV )

1.9K 103 14
                                    

Di dalam ruang bersalin, Chysara terbaring lemah dikelilingi orang dengan pakaian serupa sembari menggenggam tanganku untuk beberapa saat sebelum suara tangis itu menyeruak memenuhi ruangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Di dalam ruang bersalin, Chysara terbaring lemah dikelilingi orang dengan pakaian serupa sembari menggenggam tanganku untuk beberapa saat sebelum suara tangis itu menyeruak memenuhi ruangan.

Manusia kecil itu menangis, begitu keras hingga seluruh badannya bergetar. Aku tidak tahu persis wajahnya. Yang aku tahu,  ia berwarna merah dan itu sukses membuatku merasa takut jika suatu hari nanti aku menyakitinya.

Aku menatap satu tanganku yang bebas, mencoba mengukur lebar tanganku dengan wajah mungilnya yang ternyata tidak lebih besar. Kecil sekali, apa yang harus aku lakukan untuk membuatnya sebesar diriku?

Seorang perawat tiba-tiba meletakkannya di atas Chysara sembari memintaku untuk menyentuhnya dengan pelan.

Dia lembek.

Timbul perasaan takut jika satu jariku akan melubangi kulitnya yang halus. Bagaimana dia bisa selembut dan selunak ini? Aku lihat Chysara menangis, mungkin ia juga memiliki ketakutan yang sama denganku. Namun, ada rasa nyaman ketika aku kembali memberanikan diri mengusap bahunya.

"Apa sakit?" tanyaku pelan di telinga Chysara.

"Itu harga yang pantas untuknya."

Aku tersenyum mendengar jawaban Chysara. Tidak ada kata yang mewakili atas apa yang aku rasakan saat ini, tapi segalanya terasa penuh. Rasa-rasanya oksigen bahkan tidak lagi sanggup aku hirup untuk mengisi paru-paru karena seluruh tubuhku terisi oleh si kecil.

Aku memberanikan diri mencium belakang kepalanya yang bersandar pada Chysara sebelum kamera menangkap kebersamaan kami untuk pertama kalinya sambil berharap bahwa aku tidak akan melupakan momen paling membahagiakan ini di kepalaku.

Hanya beberapa saat. Seorang perawat kembali mengambilnya untuk dibersihkan. Aku memilih keluar ruangan agar dokter bisa menyelesaikan segalanya untuk mereka berdua.

"It's a boy."

Hanya itu yang aku ucapkan saat semua orang yang menunggu tepat di depan ruangan sontak berdiri dan melihatku keluar.

Papa menjadi orang pertama yang memelukku. Aku lihat mama menangis, dan itu sukses kembali membuatku menangis meski aku tidak tahu alasanku menangis.

"After this your responsibilities will be greater, Son. Take good care of them."

Aku mengeratkan pelukan mendengar ucapan Papa. "I'm scared, Dad."

Papa menguraikan pelukan.

"I'm afraid i can't do it as well as you."

"Jangan lakukan seperti yang papa lakukan. Lakukan seperti apa yang dia butuhkan. Dia bukan kamu yang membutuhkan papa seorang Dwi Aji. Dia si kecil yang membutuhkan papa seorang Dhiwangkara."

Aku mengangguk pelan. Sepertinya merawat si kecil akan lebih sulit dibanding mengembangkan perusahaan seperti CoffeTalks. Jelas, karena jika itu CoffeTalks aku dapat meminta bantuan Rion untuk mengurusnya. Or maybe i could use Rion's help to take care of it, too?

Dan, saat pikiran itu muncul, Rion bersama Grizelle datang bersama membawa sebuah paperbag besar berisi keperluan Chysara yang lupa aku bawa. Wajahnya terlihat khawatir saat menghampiriku dan bertanya bagaimana keadaan keduanya.

"Laki-laki."

"Itu bagus. Meski gue berharap keponakan pertama gue itu perempuan. Karena gue beli kaos kaki warna pink." Rion mengangkat sebuah paperbag kecil di tangannya.

"Hadiah kaos kaki dari paman yang seorang CEO sekaligus owner restoran? Pelit banget!"

Rion hanya tertawa menanggapi gerutuanku. Grizelle membawakan sebuah kado yang lebih besar dan mengucapkan selamat padaku sebelum perawat membawa Chysara untuk dipindahkan ke ruang perawatan.

"Bahkan asistennya saja membawa kado lebih besar!" Papa mertua menepuk pundakku untuk menghentikan candaan dan kami berjalan bersama memyusuri lorong sebelum akhirnya bertemu dengan Agas dan Amar.

"Telat!" seruku pada keduanya.

"Nggak akan ada yang hukum berdiri di depan kelas juga." Agas mengedikan bahu tak acuh.

Kami semua tertawa pelan. Segalanya kini terasa lengkap. Meski aku tidak tahu persis apa yang terjadi pada Amar dan Rion, tetapi mereka sudah menyelesaikan segalanya dan kembali saling mengabari.

Namun, saat Chysara hendak memasuki ruang rawat, seseorang berdiri di depan pintu ruangan, membawa satu bouquet bunga mawar putih dan memberikannya pada Chysara.

"Aku belum minta maaf secara resmi sama kalian. Mungkin, kesalahan yang selama ini aku buat nggak akan pernah pantas menerima maaf dari kalian, tapi aku benar-benar minta maaf. Dan, selamat atas kelahiran anak kalian. Aku harap kalian selalu seperti ini."

Aku mengangguk pelan sebagai respons terakhir yang aku berikan padanya.

Aku lihat ia tersenyum, kemudian menatap Rion yang justru memilih untuk memalingkan wajahnya dan menggenggam tangan Grizelle.

*****

Aaaaaa ... nggak usah nebak lah yaa siapa yang datang dan meminta maaf sama mereka. Chysara sama Dhiwangkara juga udah tenang jadi nggak perlu lihat pembalasan apa-apa. Rion juga sepertinya sudah selesai dengan segala masalah di hatinya dan aku juga sudah selesai dengan tulisanku untuk kesekian kalinya eheheheee ...

Aku mau mencoba meluangkan waktu lagi, untuk nerusin tulisan-tulisanku yang tertunda. Angger sama Trias, semoga kalian menemukan bahagia di akhir cerita :)

Dan makasih buat kalian yang sudah stay di cerita ini sampe tamat. Semoga lain kali aku bisa hadirin kisah lain yang lebih ... lebih apa? Yaa pokoknya gitulah

Don't Find Me In Your Memories ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang