bab delapan belas

2.6K 261 12
                                    

Matahari hampir menghilang seutuhnya dari langit Jakarta saat Mas Agas mengabarkan bahwa ia akan pulang terlambat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Matahari hampir menghilang seutuhnya dari langit Jakarta saat Mas Agas mengabarkan bahwa ia akan pulang terlambat. Melirik pada pintu kamar Kara yang tertutup sejak aku memintanya diam di sana setelah insiden memalukan, aku sedikit bersyukur karena pria itu ternyata mau menuruti kemauanku agar kami tidak berada di dalam posisi yang canggung.

Sembari menunggu Mas Agas, aku memutuskan untuk memasak bahan makanan yang siang tadi kami beli. Soto ayam dengan kuah santan, kentang rebus, telur rebus dan nasi panas sudah matang tetapi Kara belum juga keluar dari kamarnya. "Enggak ada suara sama sekali. Dia mati apa, ya?"

Aku mengendap-endap menghampiri pintu dan membukanya perlahan. Ternyata, Kara kembali tidur saat aku memintanya tidak keluar. Tanganku terulur begitu saja menyeka rambutnya yang menutupi kening saat melihatnya memejamkan mata. Kara tidak bereaksi, sampai suara Mas Agas membuatku kaget dan buru-buru menarik lengan.

Aku segera keluar dan mendapati Mas Agas juga Pak Rion masuk dengan dua kantong belanjaan yang lumayan besar.

"Chya? Lo ngapain di kamar Kara? Trus. Itu ngapain pake baju Kara? Abis ngapain lo!" Sebuah kelakar Mas Agas bersisip ledekan. Ia menunjukku dengan wajah tertawa dan menyenggol bahuku.

"Apaan, sih, Mas. Orang aku abis masak trus tadi tuh ketumpahan air, makanya aku dipinjamin baju Pak Kara. Jangan bikin asumsi sembarangan deh." Aku mencoba mengelak dari ledekan Mas Agas sementara Pak Rion langsung beringsut masuk ke dalam kamar untuk melihat keadaan Kara.

"Apa kata dokter?" tanya Pak Rion saat keluar dari kamar.

"Enggak ada masalah serius. Tapi kalau ada nyeri di kepalanya setelah dua sampai tiga hari harus dilakuin MRI katanya, Pak," jawabku menyampaikan pesan yang dikatakan dokter.

Pak Rion hanya mengangguk kemudian membawa kantong belanja yang ia bawa ke atas meja. Ia mengeluarkan isinya dan menyimpan di semua tempat penyimpanan.

Seperti yang pernah di katakan oleh Eza dan Mas Joni, Pak Rion begitu telaten mengurus segala kebutuhan Kara. Mulai dari roti dan selai hingga peralatan mandi, segalanya disiapkan oleh Pak Rion.

"Siang ini dia Dhiwangakara bagaimana? Apa dia sudah makan siang? Atau ada yang aneh dari perilakunya?" tanya Pak Rion saat mengganti jar Nutella diatas meja yang sudah habis dengan jar yang baru.

"Enggak ada, sih. Cuma ada yang aneh saja sedikit menurut saya, Pak."

Ucapanku membuat Pak Rion yang sejak tadi sibuk dengan belanjaan akhirnya balas menatapku. Tatapan matanya tajam ketika membuka kacamata bulat yang senantiasa bertengger di hidung mancungnya. "Apa?"

"Pak Kara kalau tidur memang suka nangis? Soalnya hari ini saya dua kali lihat dia tidur, dua kali juga lihat Pak Kara nangis sambil tidur."

"Nah lo ngapain ngeliatin Kara tidur? Hayooo ngaku!" Mas Agas kembali menyela dan aku tidak segan untuk memukul bahunya hingga pria itu mengaduh.

Don't Find Me In Your Memories ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang