bab duapuluh empat

2.6K 260 11
                                    

Aku meremas ujung kemeja di bawah meja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku meremas ujung kemeja di bawah meja. Sejak cerita Mas Agas dimulai dengan menyebutkan Kota Yogyakarta, aku tidak lagi berani untuk menatapnya. Terlebih, Mas Agas menatapku dengan tatapan misterius, seolah mengatakan bahwa ia tahu apa yang aku sembunyikan selama ini.

Ingatanku kembali pada beberapa minggu lalu, di mana Fai mengatakan bahwa Dhiwangkara kembali ke hidupku. Di sana, ada Mas Agas. Meski ia tidak membahas apa pun sejak hari itu, kini aku yakin ia mencurigai sesuatu.

Aku memutuskan untuk menyudahi makan yang sebenarnya sejak tadi tidak aku sentuh. Memilih untuk mencari udara segar di luar, mataku tanpa sengaja menangkap sosok yang sekarang mendekat ke arah Villa.

"Fai?"

Aku lantas buru-buru mendekatinya. Sejak siang tadi aku memang sengaja mengabaikan panggilan teleponnya karena sering kali kerepotan dan merasa canggung jika harus mengangkat telepon di dekat Bu Tami dan Pak Rion.

"Kerjaan kamu sudah selesai, 'kan? Ayo pulang," ucapnya tanpa berniat basa-basi.

"Kamu kok bisa ada di sini?"

"Apa itu penting untuk kamu? Kerjaan kamu sudah selesai, Chya. Aku enggak ganggu kamu selama kerja, tapi ini waktunya kamu pulang."

"Penting. Aku enggak enak kalau harus pergi tiba-tiba begitu aja. Apa lagi yang lain masih nge-rekap data penjualan ke komputer POS yang kemungkinan akan sampai tengah malam. Dan, kenapa kamu bisa ada di sini? Kamu enggak ngikutin aku, 'kan?"

Aku memejamkan mata erat ketika keributan yang aku dan Fai timbulkan memunculkan rasa penasaran beberapa orang. Mas Agas keluar menghampiri kami, tersenyum dan mengulurkan tangannya.

"Inget gue?"

Rasa malu merayap ke dadaku saat Mas Agas menunjuk dirinya sendiri. Pria itu terlihat tenang, tapi sekarang aku tahu bahwa Mas Agas bukan orang yang mudah untuk melupakan sesuatu.

"Pekerjaan Chysara sudah selesai, 'kan? Jadi enggak ada alasan lagi untuk kalian larang gue bawa dia pulang. Gue calon suaminya, jadi seharusnya dia nurut sama gue."

"Fai kamu apa-apaan, sih?" Aku menarik keras lengan Fai saat merasakan emosi dalam dirinya memuncak.

Entah apa yang terjadi pada Fai belakangan ini, tetapi Fai berubah menjadi pribadi yang meledak-ledak, ia lebih mudah marah ketimbang biasanya.

"Kamu yang apa-apaan? Kalau dari tadi kamu setuju untuk pulang sama aku, enggak akan rame kayak gini. Senang banget kamu, ya, jadi pusat perhatian orang-orang? Buat apa? Buat ngegodain mereka?"

Don't Find Me In Your Memories ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang