Two

20 14 43
                                    

Hello, i'm comeback! Welcome again to this story. Enjoy!♡♡♡

~~~Happy Reading~~~

"Kedekatan kita melebihi dari seorang teman. Komitmen di antara kita sudah sangat jelas sebelum adanya status. Tapi ... apakah seterusnya hanya akan seperti ini?"
-Sri Veronika-

Sri memutuskan untuk langsung pulang ke rumah setelah pertemuannya dengan Addan. Namun, saat dia melewati rumah Ila, dia lebih memilih memutuskan untuk mampir sejenak. Kebetulan Ila sedang duduk-duduk di depan rumahnya, jadi langsung saja Sri menghampirinya.

Kini dua orang gadis dengan usia sekitar 23 tahun sedang duduk di sebuah teras rumah. Banyak perbincangan yang dilakukan oleh mereka. Mulai dari membahas, kesibukan mereka sebagai guru ngaji, membahas tentang teman-teman mereka yang sekarang sudah memiliki kesibukan masing-masing, sampai mereka juga membahas tentang kejadian di masa lalu yang mempertemukan mereka dengan lelaki yang sedang berlabuh di hati mereka.

"Dulu gue bener-bener nggak nyangka banget bisa temenan, bahkan suka sama Addan," ujar Sri.

Perkataan Sri barusan sedikit membuat Ila terkekeh. Ila jadi mengingat bagaimana awal pertemuan Sri dan Addan dulu.

"Dulu Addan anaknya resek banget, ya. Gue inget betul waktu Addan nabrak lo, tapi malah dia yang nyolot."

Sri jelas tertawa mendengarnya. Sahabatnya yang satu itu masih saja mengingat awal pertemuannya dengan lelaki idamannya. "Ah, lo masih inget aja, Ila."

"Masih, dong. Bahkan gue inget sebelum lo suka sama Addan, lo juga sempet suka sama Edwin."

Apa yang dua gadis itu ceritakan adalah kejadian sekitar 5 tahun lalu, saat mereka masih berusia sekitar 18 tahun. Sekarang usia mereka sudah memasuki kepala dua, tetapi lelaki yang mereka ceritakan masih saja hinggap di hati mereka.

Tawa meledak dari Sri. Mengulas kejadian masa lalu memang selalu bisa membuat dirinya tertawa. Hingga tawanya berhenti saat Ila melontarkan sebuah pertanyaan.

"Ngomong-ngomong hubungan lo sama Addan gimana."

Sri diam sejenak sebelum menjawab. "Masih bertemu, walaupun sebulan sekali. Dan lo sama Edwin gimana?"

Kini giliran Ila yang terdiam beberapa saat. Hingga sebuah jawaban muncul di kepala Ila. "Demi menjaga diri dari zina, kami memutuskan untuk nggak ketemu sama sekali."

"Terus cara kalian berkomunikasi?"

"Lewat doa."

Sri langsung dibuat kagum dengan jawaban yang keluar dari mulut Ila. Jawaban itu benar-benar luar biasa menurutnya. Dan Sri yakin meskipun sahabatnya yang satu ini hanya berkomunikasi dengan pujaan hatinya melalui sebuah doa, tetapi kedekatan mereka tidak dapat diragukan.

***

Di sebuah ruangan sederhana berukuran persegi, Sri membaringkan tubuhnya di kasur empuk miliknya. Pandangannya menatap atap rumah, tetapi pikirannya jauh berkelana kepada sebuah perkataan yang pernah diucap beberapa tahun lalu.

Jujur saja, setelah perbincangannya di rumah Ila tadi yang membahas beberapa kenangan yang lalu, sekaligus membahas tentang pertemuan dengan laki-laki yang dicintai, pikiran Sri langsung tertuju pada perkataannya dan Addan pada 5 tahun lalu.

"Sri, gue mau lo jadi pacar gue, tapi gue nggak bisa karena gue sayang sama lo. Gue terlalu sayang sama lo buat mengikat lo ke dalam hubungan yang bernama 'pacaran.' Cukup kemarin kita pelukan. Cukup kemarin kita dekat. Cukup kemarin kita saling menggenggam tangan. Untuk hari ini, sekarang, lusa ataupun beberapa tahun lagi kita jaga jarak ya, Sri? Tapi jangan khawatir, kita bakal tetap dekat lagi saat udah ada kata 'sah' diantara kita. Dan gue nggak bakal pernah berhenti untuk minta sama Tuhan buat jadiin lo sebagai jodoh gue."

"Iya, Addan. Sri bakal tunggu kata 'sah' di antara kita terucap. Dan Sri juga bakal minta hal yang sama dengan Tuhan."

Perkataan itu bukanlah hanya sebuah omong kosong saja. Setelah perkataan itu terucap, mereka benar-benar melakukan apa yang mereka katakan sebelumnya, tidak ada pelukan dan tidak ada genggaman tangan. Bahkan pertemuan mereka tidak pernah sekalipun sesering dulu.

Ada beberapa moment di mana Sri merindukan semua hal itu dengan Addan. Tetapi dia tidak bisa melakukan itu sekarang karena kata 'sah' itu masih belum terucap.

"Kedekatan kita melebihi dari seorang teman. Komitmen di antara kita sudah sangat jelas sebelum adanya status. Tapi ... apakah seterusnya hanya akan seperti ini?" gumam Sri.

Sri bangkit setelah berbaring untuk keluar dari kamarnya. Dia duduk di ruang tamu sambil menatap sebuah pintu. Kapan lo datang bersama dengan orang tua lo ke sini, Addan? Gue selalu nungguin lo, batin Sri.

Di tengah lamunannya, Sri merasakan tepukan pelan pada bahunya. Atensi Sri yang tadinya tertuju ke arah pintu mulai beralih tujuan kepada seorang wanita paruh baya yang tangannya masih setia dipundak Sri.

"Eh, Ibu."

Wanita paruh baya yang disebut sebagai 'ibu' itu menurunkan tangannya dari bahu putri semata wayangnya. Dia langsung duduk di kursi sebelah Sri yang memang cukup untuk dua orang.

Susi-ibunya Sri-menyandarkan kepala putrinya di bahu miliknya. Tangannya mengelus pelan kepala anak tersayangnya. Sri tidak menolak perlakuan dari ibunya itu. Dia menerima setiap usapan kepala yang Susi berikan untuk dirinya.

"Sri lagi ngelamunin apa?" tanya Susi.

"Sri cuma lagi nungguin seseorang datang ke sini ..." jawab Sri disertai dengan nada yang sedikit lirih.

"Seseorang itu siapa, Sri?"

"Seseorang itu Addan."

Susi yang mulai mengerti ke mana arah pembicaraan Sri langsung mengangguk paham. Tangannya masih belum berhenti memberikan usapan pada kepala milik Sri.

"Anak Ibu udah besar aja, ya. Sri, siapa pun yang sedang Sri tunggu atau apa pun yang Sri mau, jangan pernah lupa libatkan Tuhan di dalamnya. Berdoa aja supaya takdir dari Tuhan membuat Sri dan Addan bersama. Sri dan Addan sama-sama saling suka, Ibu yakin Addan pasti sedang meminta hal yang sama dengan Tuhan."

Sri mencerna setiap kata per kata yang keluar dari mulut Susi tanpa ada yang terlewat sedikit pun. Dia mencernanya dengan baik, dan Sri memang akan melakukannya. Melibatkan Tuhan di setiap rencana dan keinginannya. Berdoa meminta hal yang Sri juga yakin bahwa Addan sedang meminta hal yang sama dengannya. Semoga saja takdir baik membuat mereka bersama.

"Makasih, Ibu."

***

Di tempat lain-di sebuah kamar yang didominasikan oleh warna hitam milik Addan-si pemilik kamar sedang duduk di kursi yang ada di dalam kamar itu. Tangannya menopang dagu dengan siku yang bertumpu pada meja.

Di setiap kehidupan selalu ada takdir. Takdir yang berupa kematian, rezeki bahkan jodoh sekali pun. Addan sangat percaya bahwa takdir-takdir yang diberikan Tuhan itu pasti selalu baik apa pun hasilnya. Perihal jodoh Addan juga percaya itu sudah di atur oleh Tuhan, hanya saja sebelum jodohnya dipertemukan, bolehkah Addan berharap bahwa orang itu adalah Sri?

Tangan yang semula menopang dagu kini mulai menadah. Addan berdoa, meminta kepada Tuhan. "Ya Allah, aku percaya jodohku sudah ada di tangan-Mu. Aku juga percaya apa pun takdir yang telah Engkau berikan dalam hidupku itu pasti baik untukku. Ya Allah, bukan maksudku ingin memaksa, hanya saja aku ingin meminta dia yang menjadi pendamping dalam hidupku. Dia yang kuharap namanya telah tertulis sebagai jodohku. Sri Veronika."













***
Kira-kira nanti takdir Sri dan Addan gimana, ya? Hmm, see you next part;)

For UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang