Seven

3 3 0
                                    

Halo, aku kembali update. Diharapkan bagi pembaca jomblo untuk jangan nyegir, ya. Wkwk. By the way, jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote and comment.

Happy Reading
***

Nabastala jingga kembali menjadi atap bagi Sri dan Addan yang sedang berdua. Di bangku taman, di pinggir lapangan, kedua orang yang sudah memasuki kepala dua duduk sembari menjaga jarak. Di tengah mereka terdapat beberapa sebuah bekal yang berisikan nasi goreng buatan Addan.

Di atas Bentala, ada sepasang kaki yang bertaut karena gugup. Debaran jantung itu seolah enggan berpacu secara perlahan.

"Makasih, Addan," ucap Sri sembari memegangi dadanya yang terasa berdebar.

"Sama-sama."

Hening kembali tercipta di antara sepasang yang sedang kasmaran. Biasanya akan selalu ada topik yang mereka bahas, tapi kali ini topik itu berada dalam kesembunyian yang belum ditemukan.

Sri memandang lurus pemandangan di depannya, sembari memikirkan beberapa pertanyaan yang bersarang pada pikiran. Sedangkan Addan, dirinya sibuk memikirkan topik untuk dibahas.

"Sri."

Panggilan itu reflek membuat Sri menoleh ke arah pemanggil, begitu juga dengan si pemanggil yang turut menoleh ke arah Sri. Semburan merah seolah melekat pada wajah keduanya. Blushing. Dengan cepat Sri dan Addan membuang pandangan meski blushing itu masih tampak pada kedua wajah mereka.

Belum waktunya, batin Sri dan Addan menyuarakan kalimat yang sama.

Addan yang semula sudah menemukan topik pembicaraan, mendadak lupa akan apa yang ingin dia bahas. Sehebat itukah efek dari menatap gadis di sebelahnya?

"Sri." Addan kembali memanggil begitu sudah ingat dengan topiknya.

"Iya, Addan?" Sri menjawab tanpa reflek menoleh ke Addan lagi. Selain tidak baik menatap lawan jenis menurut pandangan agama, itu juga tidak baik untuk jantungnya yang sekarang semakin terasa akan debaran. Euforia ini tak tertahankan.

"Emangnya gue kayak anak kecil, ya?"

Sri yang tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Addan, melemparkan pertanyaan balik dengan berkata, "Kenapa tanya gitu?"

"Tadi gue masak nasi goreng buat lo, terus mami datang. Entah mami gemes sendiri atau apa, tiba-tiba pipi gue dicubitin sambil mami bilang gue masih kecil. Padahal, 'kan, gue udah gede."

Kini Sri yang dibuat merasa gemas sendiri dengan ucapan Addan. Rasanya seperti mendengar seorang anak kecil yang sedang mengadu. Lucu.

"Adakalanya kita memang selalu tampak masih kecil di mata orang tua, Addan," ujar Sri yang berusaha menahan tawanya.

"Lagi nahan buat ngetawain gue, ya?"

Perkataan Addan yang tepat sasaran membuat Sri tidak mampu lagi menahan tawanya. Tawa itu lepas, keluar begitu saja tanpa hambatan yang menahannya. Alih-alih marah, Addan yang mendengarnya turut memasang senyum pada wajahnya. Tawa Sri seolah seperti kebahagiaan untuk Addan, meskipun Addan sedang terheran apanya yang lucu.

Tawa yang lepas itu mendadak terhenti kala Sri mengingat sesuatu dari perkataan Addan tadi.

"Eh, bentar. Tadi kamu bilang kamu masak nasi goreng buat aku? Maksudnya yang di kotak bekal ini?"

"Iya," kata Addan yang membenarkan pertanyaan Sri.

"Kenapa repot-repot, Addan."

"Enggak repot. Lagian kenapa gue harus merasa repot untuk sesuatu seperti lo, Sri."

Untuk kesekian kalinya, debaran jantung itu kembali berpacu cepat dari Sri. Dua kalimat yang Addan ucapkan membuat pipi yang semula sudah biasa, kembali memerah. Antara Sri yang mudah terbawa perasaan akan Addan, atau memang sikap Addan yang membuatnya wajar merasa demikian.

"Ganti topik," ujar Sri yang salah tingkah.

Jika tadi Sri yang tertawa lepas, maka kini giliran Addan yang tertawa. Addan jelas mengerti dengan Sri yang salah tingkah, karena itu tampak kentara menurutnya. Sedangkan Sri, dia yang mendengar tawa itu dapat menebak kalau Addan sudah mengetahui dirinya yang salah tingkah itu. Sri menutupi wajahnya, menahan malu sembari menutupi rona merah pada pipi itu.

Bersamaan dengan tawa itu, muncul banyak topik yang terlintas pada Addan. Hal itu membuat tawa Addan terhenti dan mengganti topik seperti yang Sri minta.

Kembali terjadi perbincangan di antara keduanya. Berlarut akan topik yang mengukir senyuman. Mentari yang sedang membuat nabastala berwarna jingga saat ini, seolah menjadi pelengkap bagi hangatnya suasana Sri dan Addan. Setiap yang punya penglihatan pasti dapat melihat bumbu asmara keduanya.

Ini kenyamanan yang tercipta bersamamu, Sri.

***

Susi memandang serius sebuah pesan yang terpampang pada layar ponselnya. Pesan yang menyangkut masa depan putrinya untuk seumur hidup. Pesan yang membuat Susi tampak terpikirkan akan sesuatu dengan nasib Sri mendatang. Pesan itu benar-benar serius. Sebuah topik yang tak bisa disepelekan.

Ketukan pada pintu membuat pandangan Susi teralihkan dari ponsel. Susi berjalan hingga langkahnya menuju pada pintu depan rumah.

Pintu terbuka dan menampilkan anak semata wayangnya sudah berdiri di hadapan, dengan kotak bekal yang tertenteng di tangan kirinya.

"Assalamu'alaikum, Bu." Sri berujar sembari menyalami tangan ibunya.

"Wa'alaikumsalam." Sahut Susi yang turut menyambut tangan Sri.

Pandangan mata Susi berfokus pada kotak bekal itu, hingga memunculkan sedikit keheranan tersendiri untuknya. Seingat Susi, saat Sri berangkat untuk mengajarkan ngaji seperti biasanya, Sri tidak membawa bekal. Namun, sekarang Sri pulang dengan membawa bekal yang tertenteng.

"Habis beli makanan?" Susi bertanya dengan pandangan yang masih tak lepas ke arah kotak bekal itu.

Sri mengerti akan arah pandangan ibunya, maka Sri akan menjelaskan tentang apa yang terjadi.

"Enggak, Bu. Ini bekal dari Addan yang bawain. Ibu mau makan bareng aku?"

Sekarang Susi mengerti dengan situasi yang terjadi.

"Kamu saja yang makan. Ibu sudah makan, kok. Lagian bekal itu khusus untukmu, bukan?" Susi sedikit menggoda putrinya.

"Ibu, Sri masuk dulu, ya."

Sri melewati tubuh ibunya dan berjalan menuju dapur. Bisa bahaya jika Sri terus mendengar godaan dari wanita paruh baya yang bergelar sebagai ibunya itu. Sedangkan Susi hanya sedikit terkekeh sembari memandangi raga putrinya yang perlahan menghilang dari pandangan.

Di beberapa detik yang terjadi setelahnya, ekspresi Susi berubah menjadi serius kala mengingat pesan yang tadi sempat dia tatap. Hal itu membuat Susi kembali menatap layar ponselnya.

Riana
| Ada yang ingin saya utarakan kepadamu. Tapi sebelum saya mengutarakan ini, saya yakin kamu sendiri sudah menyadari kedekatan mereka. Kedekatan antara Addan dan Sri.

Susi memang sudah menyadari kedekatan yang terjadi antara Sri dan Addan. Untuk ukuran lawan jenis, kedekatan mereka melebihi teman biasa. Bahkan, kedekatan itu terpampang nyata tadi. Tapi bukan pesan itu yang membuat ekspresi wajah Sri menjadi serius, melainkan pesan sesudah pesan itu terkirim.

Riana
| Apakah menurutmu usia mereka sudah cukup? Jika bertanya menurut pendapat saya, saya merasa sudah matang.

Susi sangat memahami maksud dari perkataan Riana. Usia matang yang dimaksud oleh Riana adalah usia untuk menuju pada jenjang yang lebih serius. Meskipun Susi memercayakan Addan, tapi hal ini tetap perlu dibahas dan dipertimbangkan kembali karena ini menyangkut masa depan anak tersayangnya.

Me
| Bagaimana jika kita bertelepon untuk membicarakan ini?















***
Hai, gimana pendapatmu tentang chapter satu ini?

See you next chapter!

For UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang