Four

13 5 0
                                    

Warning: awas salah tingkah!

°°°Happy Reading°°°

Selepas dari terakhir kali Sri dan Addan bertemu sepulang Sri mengajar ngaji, mereka tidak bertemu lagi. Mereka akan bertemu kembali pada bulan depan. Pertemuan sebulan sekali.

Saat ini langit mulai berwarna jingga, menunjukkan pesona khas sore harinya. Di bawah nabastala-tepatnya di depan masjid tempat biasa Sri dan Ila mengajar ngaji-dua orang gadis sedang berjalan bersama sembari menceritakan cerita mereka hari ini.

Saat sedang bercerita, Sri melihat perubahan dari raut wajah Ila. Pipinya yang memerah, tatapan matanya yang tampak tersipu serta bibir yang terlihat seperti sedang menahan sebuah senyuman untuk terbit. Ila ... sedang tersipu?

"Sri, seminggu lagi gue akan nikah," ujar Ila. Suaranya sangat kecil hingga nyaris tidak terdengar oleh Sri. Sepertinya itu efek karena sedang salah tingkah.

Perkataan dari Ila barusan membuat Sri reflek menghentikan langkah kakinya, begitu pula dengan Ila. Ila yang akan nikah tapi perasaan Sri yang turut dibuat campur aduk karenanya. Rasanya senang bercampur dengan terharu dan juga keterkejutan. Sahabatnya akan segera menikah, tentu Sri ikut merasa senang karena itu.

"Datang, ya." Ila berujar kembali sembari memberikan sebuah kertas undangan pernikahan. Kertas yang memperlihatkan nama Ila dan juga Edwin di sana. Ah, tidak heran sekali saat melihat nama calon suami Ila di sana. Mereka memang dekat meski tidak berkomunikasi secara langsung.

Sebagai sahabat, tentunya Sri merasa senang saat sahabatnya menikah dengan lelaki yang dicintainya. Tetapi, tidak dapat membohongi perasaan juga kalau diam-diam Sri sedikit merasa iri. Ila dan Edwin memang dua insan yang saling mencintai, tetapi sudah lama sekali mereka tidak terlibat komunikasi secara langsung, bertemu saja sudah tidak pernah. Tetapi ada satu komunikasi yang tidak pernah untuk tidak mereka lakukan, berkomunikasi melalui doa. Dan kini hasil dari komunikasi ini membuahkan hasil yang diberikan dari Tuhan.

Dulunya saat masih remaja berusia belasan tahun, Ila dan Edwin hanyalah dua orang asing yang tidak sengaja dipertemukan karena sebuah acara qosidahan. Awalnya Ila yang mengagumi Edwin hingga rasa kagum itu berubah menjadi sebuah perasaan, perasaan yang lebih dari sekedar kagum. Tetapi lama-kelamaan Edwin juga memiliki perasaan yang sebaliknya untuk Ila, rasa sayang. Sadar akan perasaan itu, Edwin memilih meminta Ila untuk menjauhinya dan hanya berkomunikasi melalui doa. Hal itu Edwin lakukan agar dirinya dan orang yang dia sayang tidak terlibat ke dalam pertemuan yang melibatkan dosa.

"Sebutlah namaku dalam doamu, maka kan kulakukan hal yang sama. Jika suatu hari kita berjodoh, kan kupinang engkau menjadi makmum dalam rumah tangga kita nanti." Itu adalah perkataan yang Edwin utarakan untuk Ila dulu. Dan suatu hari itu kini telah tiba membuat Sri jadi sedikit iri dan ingin segera menikah dengan Addan.

Batin Sri berkata, Ya, Allah, sungguh hamba merasa senang atas pernikahan sahabat hamba yang akan segera terjadi. Tetapi ... bolehkah hamba meminta hal serupa terjadi pada hamba dan Addan? Sebuah pernikahan.

***

Di tempat lain-tepatnya di sebuah kamar milik Addan-sang pemilik kamar sedang menatap sebuah undangan yang berada di tangannya saat ini.

Beberapa jam lalu, teman dekatnya saat di pesantren dulu datang ke rumahnya. Teman dekat saat di pesantren yang tidak lain dan tidak bukan adalah Edwin. Edwin datang ke rumahnya, untuk sekedar berbincang dengannya dan memberikan undangan pernikahan itu.

Mata Addan tidak lepas dari undangan pernikahan tersebut, tetapi pikirannya sedang berada ke arah lain. Sri Veronika, gadis yang lagi dan lagi memenuhi isi pikirannya. "Pernikahan. Suatu hari nanti gue sama Sri pasti bisa, suatu hari yang gue harap nggak akan lama lagi. Sri ... tunggu, ya," gumam Addan.

Saat sedang memikirkan sosok gadis bernama Sri, tiba-tiba saja Addan teringat akan perkataan Maria saat di taman.

"Kalo begitu, segera siapin apa yang harus. And satu yang harus lo tau, cewek butuh kejelasan. Tolong ... seenggaknya kalo memang belum bisa sekarang, selalu kasih dia kejelasan. Jelasin alasannya, yakinin dia selalu. Jangan biarkan cewek yang lo sayang selalu menerima ketidak jelasan, okay? Dan ingat juga, ya, harus segera disiapin biar nggak kelamaan nunggu juga anak orang."

Kalimat yang dilontarkan oleh Maria menggema dan kini menjadi buah pikiran yang baru untuk Addan. Addan tidak ingin membiarkan Sri menunggu lama, tetapi sungguh dia belum menyiapkan semua persiapan. Bukan dia tidak ingin, tetapi persiapan itu yang belum dia capai. Addan tidak ingin Sri tidak mendapatkan kejelasan, maka detik ini Addan akan menjelaskannya.

Addan mengambil ponsel miliknya dan mulai menelepon Sri.

"Assalamu'alaikum," sapa Addan saat panggilan telepon mulai tersambung.

"Wa'alaikumsalam," ujar Sri dari seberang telepon sana.

"Sri ... lo masih nungguin gue, 'kan?"

Tidak ada jawaban kembali dari seberang telepon sana, membuat Addan jadi gelisah sendiri menunggunya.

"Iya. Gue masih nungguin lo, Dan." Suara gadis dari seberang telepon itu akhirnya kembali Addan dengar. Hal itu membuat Addan menghela napas lega guna melepaskan rasa gelisah yang sempat menggerogotinya.

"Gue sedang menyiapkan sesuatu Sri. Sesuatu untuk gue bisa menikahi lo nanti. Sesuatu yang selalu gue upayakan untuk lo, dan hanya untuk lo. Maaf gue cuman bisa jelasin itu, tapi belum bisa jelasin kapan tepatnya kata sah terucap di antara kita. Tapi gue bisa pastikan sama lo, kalau setiap harinya gue terus mengupayakannya. Dan gue mau lo selalu tau, kalau gue enggak pernah berhenti sebut nama lo dalam doa gue, meminta Tuhan agar bisa menjodohkan kita."

Tanpa Addan ketahui, wajah Sri sudah memerah saat mendengar kalimat panjangnya itu, sayang saja dia tidak bisa melihatnya.

Jujur saja, saat tiba-tiba Addan menelepon Sri, Sri mengira bahwa Addan akan memberi tahu kapan dia akan melamar Sri, tetapi ternyata tidak begitu juga. Meski begitu setidaknya Sri tau bahwa rasa ingin memiliki dirinya itu masih ada di diri Addan. Dan setidaknya juga Sri tau bahwa Addan sedang memperjuangkan yang katanya sesuatu itu untuk segera melamarnya. Tentu Sri masih menunggu Addan.

"Makasih karena udah mau jelasin ke gue tentang itu, gue puas dengarnya. Tapi, gue masih tunggu kejelasan lo yang lain. Kejelasan tanggal pernikahan kita. Tapi lo jangan khawatir, gue masih tetap tungguin lo. Usahain jangan sampai kelamaan, ya?"

Addan menggangguk mantap guna menanggapi perkataan Sri, meskipun dia tau Sri tidak dapat melihatnya. "Bahkan tanpa lo minta, gue pasti selalu mengusahakannya biar kita cepat nikah, Sri. Gue yakin lo pasti cantik banget waktu pakai gaun pernikahan."

Saat perkataan Addan selesai diucapkan, ada sepasang pipi yang memerah karena salah tingkah. Tetapi kali ini bukan pipi Sri yang memerah, melainkan Addan. Addan blushing sendiri karena ucapannya.

Salting sendiri, nih, gue.















***
Gimana perasaan kalian waktu habis baca chapter ini, guys?

Btw, as always, see you next part!

For UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang