Sudah seminggu setelah Addan mengabari akan menikahi Sri. Sudah seminggu pula dua insan yang berjatuh hati semakin dilahap rasa ingin memiliki. Dua insan ini terbelenggu kasih sayang.
Sri berdiri di ambang pintu, sambil memegangi ponselnya dengan perasaan senang yang tak terkira. Sebuah ponsel yang menjadi tujuan netra Sri, kala pesan seseorang semakin menghidupkan kesenangannya.
Addan
| Hari ini aku datang bersama kedua orang tuaku, mengambil izin dari ibumu yang kelak akan menjadi ibuku juga. Sebentar lagi kita adalah kita pada jenjang yang lebih serius. Ana uhibbuka fillah.Mungkin ini berlebihan, tapi Sri merasa ingin meluruhkan air matanya saat membaca pesan itu. Luruhan air mata yang bukan tanda kesedihan, tapi tanda kebahagiaan.
Sudah setengah jam dari pesan itu dikirim, tapi Sri belum melihat tanda-tanda Addan akan datang. Mungkinkah Sri yang kurang sabar?
Sri yang jenuh menunggu lelakinya memutuskan untuk membalas pesan dari Addan yang sedari tadi dia abaikan, karena salah tingkah yang menguasai.
Me
| Aku menunggu kehadiranmu.Belum sampai dua menit, pesan yang Sri kirim telah mendapatkan balasan dari Addan. Pesan yang membuat jantung Sri seolah tak aman.
Addan
| Aku melaksanakan apa yang aku katakan. Aku telah tiba bersama kedua orang tuaku. Lihatlah ke depan.Mata Sri membulat sempurna sanking terkejutnya. Tentu saja Sri langsung menoleh pada hadapan yang dimaksud Addan. Dalam penglihatan itu, dengan jarak beberapa meter, Sri melihat orang-orang yang dikenalinya turun dari sebuah mobil.
"Addan, kamu merealisasikan apa yang kamu bilang," gumam Sri saat melihat Addan turun dari mobil bersama kedua orang tuanya.
Sri yang melihat Addan langsung menghampiri ibunya yang saat ini berada di kamar. Diketuknya pintu kamar itu membuat sang pemilik keluar dari tempatnya.
"Dia menepati apa yang pernah dirinya katakan," ucap Sri langsung setelah melihat ibunya berdiri di hadapannya.
Sri merasakan usapan lembut pada kepalanya. Sri melihat senyuman manis tertuju padanya. Sri merasakan ciuman pada jidatnya. Semua yang Sri dapat dilakukan oleh ibu tersayang.
"Sebentar lagi kamu akan milik orang lain, Sri," ucap Susi.
Sri tak kuasa menahan haru, membuatnya langsung memeluk tubuh ibunya. Sayang sekali adegan itu hanya berlangsung dalam durasi singkat, karena sebuah panggilan terdengar.
Sri dan Susi jelas tau dari siapa panggilan itu berasal. Sri tentu langsung duduk di ruang tamu, sedangkan Susi memilih membukakan pintu.
"Hai, Calon Besan." Riana langsung menyapa begitu Susi membukakan pintu.
Addan dibuat salah tingkah seketika. Panggilan yang Addan dengar saat Riana memanggil Susi, membuat pipinya memerah. Panggilan itu membuat fantasi Addan menyala. Angan-angan memiliki wanitanya semakin menjadi gambaran nyata.
"Bisa aja kamu, Riana. Ayo, masuk dulu kalian."
Susi menggiring Addan dan kedua orang tuanya masuk. Susi membawa mereka duduk pada kursi ruang tamu yang sedang tak berpenghuni.
Loh, bukannya tadi ada Sri? Batin Susi mempertanyakan.
Sri yang memang semula ada di sana memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Mempersiapkan hatinya yang akan mendengar lamaran. Optimisme yang tercipta pada dirinya justru membuatnya berubah pikir untuk berada di kamar saja, daripada menunggu di ruang tamu. Mendadak Sri merasa malu jika harus berhadapan pada Addan.
Susi yang tidak ingin mengambil pusing akan keberadaan Sri, memutuskan langsung menggiring duduk saja pada keluarga di hadapannya, dan menciptakan perbincangan pada ruang tamu.
Obrolan demi obrolan mulai tercipta. Obrolan-obrolan yang tercipta adalah basa-basi untuk menghidupkan suasana. Namun, belum ada satu pun dari obrolan itu yang mengarah pada ranah pernikahan.
Terkadang kita perlu berbasa-basi sebelum menyatakan pesan lugas. Itulah yang sedang terjadi pada orang-orang di ruangan tamu saat ini.
"Susi, sebenarnya kedatangan kami di sini ingin menyampaikan hal penting. Ini menyinggung masa depan anak kita."
Inilah saatnya. Inilah pesan lugasnya. Basa-basi telah selesai, makna sebenarnya langsung tercipta.
"Kami ingin meminang putrimu menjadi istri dari putra kami." Rama memberikan ujaran.
"Iya, Tante. Saya menyukai Sri. Saya menyukai Sri, hingga suka itu telah menembus kata cinta. Telah lama saya mempersiapkan hari ini, hingga hari ini tiba. Hari di mana akhirnya saya bisa menyampaikannya. Tante, saya ingin melamar Sri." Addan berujar dengan penuh keseriusan.
Tiada ragu pada setiap perkataan Addan. Hati dan jantung yang seolah berdebar, tak dapat membuat keseriusan Addan hilang. Hari ini, detik ini, Addan benar-benar menyampaikannya. Lamaran menikahi wanitanya.
"Kita bicarakan bersama Sri saja, ya."
Setelah perkataan dari Susi tersebut, nama Sri beberapa kali terpanggil pada ruangan. Susi terus memanggili Sri, hingga orang yang dipanggili langsung mengambil duduk di ruang tamu-tentunya setelah menyalimi tangan orang tua Addan.
"Ada apa Ibu memanggil?" Tanya Sri dengan pelan-berpura-pura tidak tau maksud, padahal sebenarnya sangat tau alasan mengapa dirinya dipanggil.
Susi hanya tersenyum sambil membelai kepala putri tunggalnya. Lalu tatapan Susi beralih pada Addan yang nampak sekali gugup.
"Sekarang sudah ada Sri. Addan, ayo ucapkan lagi apa yang semula kamu katakan." Susi membuat Addan bertambah gugup dengan perkataannya.
"Ayo, Jagoan. Ungkapkan dan dapatkan." Riana mengompori.
"Lakukanlah, Anakku." Rama turut andil dalam pemberian dukungan.
Perkataan-perkataan yang menggema dalam ruangan itu membuat Sri dan Addan tidak bisa diam hatinya. Jelas mereka tau ke mana perkataan itu akan membawa mereka.
Addan menetralkan rasa gugupnya. Ditariknya napas panjang sejenak, lalu dia mulai berkata, "Sri, gue suka sama lo. Tapi ternyata ini lebih dari suka. Gue mencintai lo. Boleh jika gue minta membawa cinta ini pada jenjang keseriusan? Gue ingin menikahi lo."
Jika Sri tak punya pertahanan emosi yang kuat, dapat dipastikan bahwa Sri sudah menangis detik ini juga. Untungnya saat ini Sri sudah membentengi diri guna menutupi tangis yang gampang sekali luruh.
"Iya, Addan. Tentu kamu boleh, karena aku juga mencintaimu. Aku persilahkan kamu masuk ke dalam kehidupanku pada keseriusan itu. Namun, aku tetap membutuhkan restu dari seseorang yang menggiring kita melangkah pada keseriusan."
Susi mengerti pada siapa ujaran yang dimaksud Sri dalam kalimat terakhirnya.
"Kebahagiaan kamu adalah kebahagiaan Ibu juga, Sri. Jika kamu berbahagia pada lelakimu, maka Ibu juga sama. Tapi Ibu tentu perlu melihat karakteristik dari seseorang yang akan masuk pada hidupmu."
Jadi itu lampu merah atau lampu hijau? Rasanya haru yang terjadi tadi nampak seperti tegang antara penerimaan atau penolakan.
"Dan Ibu telah melihatnya. Ibu memberikan restu pada hubungan kalian."
Nyatanya itu adalah lampu hijau. Hubungan itu telah direstui, kebahagiaan sepenuhnya mereka akan terjalin. Mereka adalah kata 'kita' yang abadi.
"Alhamdulillah." Banyaknya ucap syukur mulai tercipta, dari bahagia yang tak terkira.
Semua dalam ruangan berbahagia, terutama Sri dan Addan. Sri dan Addan adalah dua dari kebahagiaan melebihi siapa pun di ruangan itu.
Kita adalah kita.
***
How do you feel setelah baca chapter ini, guys?See you next chapter!
Note: comment next untuk update segera.
![](https://img.wattpad.com/cover/346743211-288-k374600.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
For Us
Genel Kurgu#seriescerita3 *** "Aku menyukainya tetapi tidak ingin berpacaran dengannya karena aku mencintainya." Addan Alzohri, sosok lelaki yang terjebak cinta kepada seorang wanita bernama Sri Veronika. Kedekatannya pada Sri di masa lalu membuahkan rasa asma...