Six

4 3 0
                                    

Hai, diriku kembali update. Selamat membaca^^

Note: jangan lupa tekan tombol vote.

~Happy Reading~

Waktu berlalu hingga membawa pada kehidupan sebulan setelah pernikahan Ila dan Edwin. Pernikahan yang membuat banyak pasang mata turut menyaksikan dengan bahagia, termasuk bahagia untuk Sri dan Addan.

Kembali terbesit rasa iri di hati Sri. Sri tidak iri akan bahagia dari pernikahan sahabatnya. Tapi kalau boleh jujur, Sri iri karena dia juga ingin dinikahi oleh lelaki yang dicintai dan mencintainya.

"Addan," gumam Sri yang menyebutkan sebuah nama yang menjadi pikirannya.

Kasih yang sesungguhnya dari seorang pria untuk wanitanya adalah ketika pria itu datang menemui walimu, dan mengatakan bahwa aku ingin meminangmu. Pria yang mencintai dengan tulus tidak akan membiarkan wanitanya terjerat kedekatan dalam hubungan yang belum halal, karena dia ingin menjagamu dalam dosa dari zina. Itu adalah cinta dari pria sejati yang sesungguhnya.

Bagaikan lagu indah yang terngiang di telinga dan kepala, Sri mengingat percakapannya dengan Addan beberapa tahun lalu. Tentang Addan yang memutuskan menghentikan kedekatan demi menjaga jarak, meski pada akhirnya mereka tetap bertemu secara sebulan sekali.

"Sri, gue mau lo jadi pacar gue, tapi gue enggak bisa karena gue sayang sama lo. Gue terlalu sayang sama lo buat mengikat lo ke dalam hubungan yang bernama pacaran. Cukup kemarin kita pelukan. Cukup kemarin kita dekat. Cukup kemarin kita saling menggenggam tangan. Untuk hari ini, sekarang, lusa ataupun beberapa tahun lagi kita jaga jarak, ya, Sri? Tapi jangan khawatir, kita bakal tetap dekat lagi saat udah ada kata sah di antara kita, dan gue enggak bakal pernah berhenti untuk minta sama Tuhan buat jadiin lo sebagai jodoh gue."

"Iya, Addan. Sri bakal tunggu kata sah di antara kita terucap. Sri juga bakal minta hal yang sama dengan Tuhan."

Terukir sebuah senyuman dari bibir Sri, saat mengingat kalimat demi kalimat yang terlontar dari Addan kala itu.

"Addan ... gue masih menunggu kata sah itu."

***

Bau harum dari nasi goreng yang baru selesai dimasak menyeruak pada sekeliling dapur minimalis. Membuat siapa saja yang melewati dapur itu akan dibuat merasa lapar seketika.

Riana menepuk pelan pundak seseorang yang berdiri di dekat kuali. Pundak seorang buah hatinya yang dia sayangi.

"Addan," panggil Riana dengan lembut.

"Sebentar, Mami. Nasi gorengnya bentar lagi jadi ini." Addan menyauti panggilan Riana sembari terus mengaduk nasi goreng yang hampir jadi pada kuali itu.

"Perlu bantuan?"

"Enggak usah, Mami. Nasi goreng ini harus Addan sendiri yang buat. Ini nasi goreng untuk orang spesial, jadi harus Addan yang buat."

"Sri?"

"Yup."

Riana tersenyum hangat begitu mendengar perkataan dari Addan. Perkataan dari Addan sukses mengingatkannya bahwa Addan bukan lagi anak kecil. Entah kenapa waktu terasa cepat sekali berlalu.

Riana merasa baru kemarin Addan lahir. Riana juga merasa baru kemarin dia menggendong Addan. Tapi lihatlah Addan sekarang sudah besar. Addan sudah cukup besar untuk membahas tentang seorang gadis yang disukainya.

"Kamu itu ..." Riana menjeda ucapannya untuk mencubit pipi Addan terlebih dahulu sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Masih kecil."

"Jangan cubit-cubit, Mami. Addan udah gede."

"Masih kecil di mata Mami."

Addan hanya bisa pasrah mendengar penuturan dari Riana. Kenapa dirinya selalu tampak seperti anak kecil di mata wanita paruh baya itu? Meski begitu, Addan juga tidak dapat membohongi perasaannya sendiri bahwa dia sangat senang akan anggapan itu. Setidaknya ... itu mendadakan kedekatannya dengan Riana, bukan?

Asal jangan kayak dulu.

Ya, Addan berharap hal seperti dulu tidak kembali terjadi. Hal yang membuat hubungan Addan dan kedua orang tuanya renggang karena suatu kecelakaan yang tidak disengaja. Kecelakaan yang menyebabkan Zia—almarhumah adiknya Addan—yang masih bayi pada saat itu meninggal. Biarlah tetap seperti ini untuk selamanya, itu adalah harapan Addan.

"Kamu masak nasi gorengnya banyak banget, Dan. Ini lebih untuk porsi satu orang," ujar Riana yang sedikit terheran dengan porsi nasi goreng yang terlihat di kuali itu.

"Ini bukan cuman buat Sri, tapi buat Mami juga."

Addan mematikan kompor gas dan mulai berhenti mengaduk, saat dirasa nasi goreng tersebut sudah matang. Addan juga dengan segera menyiapkan peralatan makan untuk diletakkan di meja makan yang berada di dapur itu.

"Mami, ayo cobain nasi goreng buatan Addan."

Riana tentunya melakukan apa yang dikatakan buah hatinya. Menyantap nasi goreng hasil buatan anaknya sendiri. Hal yang membuat Addan merasa senang karena masakannya dicoba oleh orang tuanya. Terkadang bahagia itu sederhana.

Satu suapan nasi goreng mendarat masuk ke dalam mulut Riana. Suapan itu terasa sangat nikmat. Tidak disangka nasi goreng buatan Addan ternyata sangat enak. Entah dari mana Addan belajar membuat masakan enak itu, yang jelas itu bukan dari Riana, karena Addan tidak pernah meminta diajari oleh Riana.

"Enak. Kamu belajar dari mana? Mami kaget, loh, hasilnya bisa seenak ini."

Addan bersorak sebelum menjawab pertanyaan dari Riana. Jika Riana saja bisa sesuka itu pada hasil masakannya, maka Sri juga pasti akan menyukainya, bukan?

"Alhamdulillah, kalau Mami suka. Enggak sia-sia Addan belajar dari YouTube."

"Oh, dari YouTube. Enak, loh, Dan."

Addan yang kembali mendapatkan pujian itu semakin bersemangat dalam keinginannya untuk memberikan hasil masakannya kepada Sri. Dengan segera Addan menyiapkan kotak bekal untuk memasukkan nasi goreng tersebut.

Riana memperhatikan setiap gerak-gerik dari Addan, dan Riana dapat melihat kegembiraan Addan dalam menyiapkan masakan untuk seorang wanita yang dia cintai. Bahkan saat Addan telah pergi meninggalkan ruangan usai berpamitan dengan Riana, Riana masih memperhatikan gerak-gerik dari tubuh yang perlahan mulai hilang dari pandangan itu.

Addan dan Sri, ini bukan lagi kedekatan yang biasa.

Riana meraih ponsel pada sakunya untuk mengirimi pesan kepada seorang wanita. Jari-jarinya perlahan mengetik sebuah pesan yang hendak dia kirim.

Me
| Ada yang ingin saya utarakan kepadamu. Tapi sebelum saya mengutarakan ini, saya yakin kamu sendiri sudah menyadari kedekatan mereka. Kedekatan antara Addan dan Sri.

***

Sri menatap senang pada layar ponselnya, saat dia melihat pesan dari seseorang. Pesan yang selalu bisa membuat hatinya seolah berdebar. Pesan dari seorang lelaki yang ia cintai. Pesan dari Addan.

Addan
| Di lapangan dekat masjid tempat kamu ngajar ngaji.
| Ayo kita kembali bertemu di sana.

Sudah sebulan Sri tidak bertemu dengan Addan, maka ini adalah waktunya. Meski sesudah itu, mereka akan kembali tidak bertemu lagi sampai sebulan. Pertemuan yang hanya dilakukan sebulan sekali ini cukup menyiksa karena kerinduan.

Tidak ada yang asing tapi menjaga jarak. Tidak ada yang berhenti menyukai tapi memilih tidak berdekatan. Ada rasa tapi belum terikat hubungan.

"Sampai kapan, ya?"















***
Kalau kamu jadi Sri, kamu masih mau nungguin Addan, enggak?

By the way, see ya' next chapter!

For UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang