Langit jingga kembali menjadi atap bagi sepasang orang yang telah berkepala dua ini. Untuk kesekian kalinya, lapangan dekat masjid menjadi titik pertemuan antara Sri dan Addan. Setelah pertemuan mereka yang kemarin, kini mereka bertemu kembali.
Kemarin Addan menghubungi Sri untuk meminta bertemu. Awalnya, ajakan Addan ditolak oleh Sri karena dari awal mereka telah berkomitmen untuk bertemu hanya sebulan sekali. Namun, karena Addan bilang ini urgent, Sri dengan penuh pertimbangan mengiyakannya.
"Kenapa ajak ketemu lagi? Ini bahkan belum selang sebulan dari pertemuan kita yang kemarin." Sri langsung melontarkan pertanyaan untuk Addan.
"Urgent." Satu kata yang kurang menjelaskan dari Addan.
"Apanya yang urgent?"
"Enggak di sini bilangnya, ya. Kita ke taman yang di pusat kota aja."
Ada apa ini? Ini bukan tampak seperti sesuatu yang urgent, melainkan sesuatu yang bersifat kasmaran.
***
Dua orang yang berlawanan jenis sedang berdiri di sebuah taman yang sekarang sedang kebetulan sepi. Mereka berdiri dengan jarak yang terbilang tidak dekat tanpa saling berhadapan, ataupun bertatapan mata.
Sri dan Addan berdiri bersampingan dengan jarak yang memang tidak dekat, menunggu salah satu di antara mereka membuka suara lebih dulu.
"Sri." Pada akhirnya Addan yang mulai berbicara untuk memanggil wanita yang ada di sebelahnya.
"Iya?" jawab Sri tanpa sedikit pun menoleh ke arah si pemanggil, begitu pula sebaliknya.
"Udah bertahun-tahun gue pengen ngerasain lagi genggaman tangan itu, dan juga pelukan itu. Tapi dulu gue enggak bisa ngelakuin itu, Sri. Kalau dulu gue tetap memaksakan diri buat lakuin itu sama lo, takutnya orang yang gue sayang bakal terlibat dosa. Gue enggak mau, karena gue beneran sayang sama lo. Tapi ...."
Ucapan Addan tergantung. Lidahnya terasa susah digerakan untuk berbicara. Mulutnya bungkam karena gugup. Addan kesulitan untuk melanjutkan kalimat berikutnya, karena ini akan menjadi kalimat bersejarah dalam hidupnya.
"Tapi apa, Dan?" Sri menaikkan sebelah alisnya sambil menatap Addan. Sri sedang bertanya-tanya apa lanjutan dari kalimat yang akan Addan ucapkan.
"Tapi gue enggak bisa bohongi perasaan gue kalau gue rindu sama semua itu. Sri, gue pengen kembali dekat dengan lo. Gue pengen ada di dalam suatu hubungan bersama lo. Bukan hubungan yang bernama 'pacaran,' tetapi hubungan yang sah sebagai pasangan suami-istri. Sri ... mau, enggak?"
Pada akhirnya keinginan kuat untuk memiliki itu lebih besar daripada rasa gugup itu. Hingga akhirnya Addan membebaskan kalimat berikutnya yang keluar dari mulutnya.
Lega? Addan belum merasakannya meski sudah mengungkapkannya. Masih ada sesuatu yang harus dia ketahui. Sesuatu itu merupakan jawaban dari Sri.
"Aku rasa kamu jauh lebih paham sama jawaban aku, Addan."
Addan lega begitu mendapatkan jawaban itu, tetapi tangan dan pundaknya sedikit bergetar saat mendengarnya. "Iya, gue paham."
Addan jelas paham dengan jawaban yang belum Sri lontarkan. Kemarin saat Addan telah menghitung jumlah uang tabungan, Addan langsung mengirimi Sri pesan untuk ajakan bertemu ini. Namun, Addan ternyata lebih dulu dikirmi pesan oleh Sri tentang sesuatu.
Flashback on
My Girl
| Addan pernah cape sama hubungan yang gini-gini aja, enggak?Me
| Yeah.My Girl
| Aku memegang erat penjelasan kamu, Dan. Tentang kamu yang katanya selalu mengupayakan sesuatu untuk pernikahan kita. Aku mempercayai itu. Tapi, adakalanya aku juga ingin melihat hasilnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
For Us
Ficción General#seriescerita3 *** "Aku menyukainya tetapi tidak ingin berpacaran dengannya karena aku mencintainya." Addan Alzohri, sosok lelaki yang terjebak cinta kepada seorang wanita bernama Sri Veronika. Kedekatannya pada Sri di masa lalu membuahkan rasa asma...