Eight

6 3 0
                                    

Hai, hai, hai! Gimana kabar kalian? Anyway tolong jangan baper sama chapter ini, ya, hehe.

Happy Reading

Addan masih berada di bangku pinggir lapangan dekat tempat biasa Sri mengajar. Jika tadi Addan bersama Sri, maka kali ini dia sedang bersama Edwin.

Edwin yang tadinya ingin mengunjungi istrinya, memilih menghampiri Addan terlebih dahulu karena dia tau istrinya belum selesai mengajar.

"Tumben lo ke sini," ujar Addan.

"Pengen nyamperin istri, tapi dia belum selesai ngajar. Gue berencana mau nunggu di sini, taunya malah ketemu kamu. Jadi sekalian aku samperin." Edwin menjelaskan dengan penjelasan panjang.

"Loh? Ila belum selesai ngajar? Sri padahal udah pulang."

"Harusnya udah, tapi ada muridnya yang minta diajarin lebih. Ilano dengan senang hati aja ngajarnya."

"Ilano?"

"Panggilan untuk istri."

"Agak laen tapi gimana lo aja, deh."

"Lo sendiri kenapa bisa ada di sini? Sri?"

Addan hanya menggangguk untuk memberikan jawaban kepada Edwin. Setelahnya Addan mulai curhat dengan apa yang dia rasakan akhir-akhir ini. Semua tentang kerinduannya.

Tangan yang ingin kembali digenggaman. Pelukan yang ingin kembali dirasakan. Saling menatap tanpa takut akan larangan. Addan ingin merasakan semua itu. Tapi apalah dayanya yang tidak memiliki ikatan resmi untuk semua itu? Pada akhirnya semua hanya menjadi kerinduan.

Edwin mendengarkan dengan saksama. Edwin sangat mengerti terkait apa yang Addan rasakan saat itu, karena Edwin juga pernah berada di posisi itu sebelumnya.

"Gue ngerti lo kangen berat sama semua moment itu. Tapi lo enggak bisa lakuin karena lo terlalu sayang sama Sri. Terlalu sayang sampe enggak mau lakuin semua hal yang tidak diperbolehkan lawan jenis karena belum halal." Edwin berujar dengan tepat sasaran.

"Yeah."

"I feel you."

"Win."

Edwin menoleh begitu namanya dipanggil, melihat Addan yang sedang memandang lurus lapangan yang kosong.

"Hm?" Hanya satu kata yang keluar dari mulut Edwin setelah namanya dipanggil.

"Gimana lo bisa nahan rindu sama Ila sebelum halal?" Pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulut Addan.

Kini beralih Edwin yang menceritakan semua kerinduannya yang dulu kepada Addan. Semua kerinduan untuk Ila. Edwin dapat melihat Addan yang tampak memasang ekspresi terkejut setelah mendengar penjelasannya.

"Selain menjaga kontak fisik, lo juga sama sekali enggak ketemu Ila? Meski itu untuk sebulan sekali?"

"Ya."

"Cara kalian komunikasi gimana?"

Addan masih terkejut setelah mendengar semua penjelasan Edwin. Bagaimana bisa ada yang sekuat itu menjaga kerinduan? Addan benar-benar dibuat kagum dengan temannya yang satu ini. Sungguh hebat di mata Addan seorang Edwin dalam menjaga, bahkan lebih hebat darinya. Cinta temannya itu benar kentara untuk gadis yang sekarang bergelar sebagai istrinya.

"Dulu saat masih remaja belasan tahun, kami berkomunikasi dengan bertukar pesan melalui ponsel meski sangat jarang. Semakin aku larut dalam pesan, semakin aku menyukainya. Semakin aku menyukainya, semakin kuat pula niatku untuk menjaganya dengan menjauh karena belum halal. Hingga pada saat itu kami berhenti bertukar pesan karena komitmen. Kalau lo tanya gimana komunikasi kami, kami berkomunikasi melalui doa."

For UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang