Eleven

6 4 0
                                    

-Happy Reading-

Di depan halaman rumah, dua orang berkepala dua yang berlawanan jenis duduk di kursi. Salah satu merasa suka yang berkecambuk, satu lainnya merasa ambigu.

"Lo beneran datang ke sini, ya." Addan berujar riang.

"Iyalah. Congratulations karena lo udah berhasil ungkapin ajakan menikah itu." Maria berujar tulus—meski dengan perasaan ambigu itu, yang hanya dirinya sendiri yang tau.

"Thanks."

Betapa riangnya nada itu terdengar. Betapa gembiranya yang terdapat. Betapa tergambarnya sebuah suka hanya dengan melalui nada. Siapa yang mendengar, tentu dapat merasakan harsa yang terlisankan, termasuk Maria.

"Siapa yang mau ajak nikah siapa?"

Seketika Addan dan Maria menoleh ke ambang pintu, yang sudah terdapat Riana berdiri dengan memegang nampan berisikan teh.

Addan yang melihat itu dengan cepat meraih nampan, dan meletakkannya di meja yang berhadapan dengan Maria. Addan memeluk Riana erat setelah meletakkan nampan itu, menyalurkan kebahagiaan melalui gerakan fisik yang nyata.

"Mami, I'm gonna be husband."

Riana yang mendengarnya tentu terkejut sekaligus senang. Putra tunggalnya memang telah besar dan bertumbuh.

"Sri, ya?" Riana menebak dengan keyakinan benarnya yang tinggi.

Addan yang mendengarnya langsung menggerakkan salah satu tangan Riana ke kepalanya. Addan bermaksud mendapatkan elusan kepala dari Riana. Umur adalah angka, bersikap selayaknya seorang bocah di depan Riana adalah keinginan Addan.

"Iya, Mi. Dia yang Addan sangka menjadi menantu Mami. Perizinkanlah itu terjadi, Mi. Berikan restu itu."

Riana tersenyum simpul mendengarnya. Restu? Tentu Riana akan berikan itu mengingat Sri adalah wanita yang baik. Riana menyukai Sri, dan juga harus menciptakan kasih sayang kepada Sri selayaknya menantu, tentu Riana bersedia. Bahkan, Riana sudah menganggap Sri seperti anaknya.

"Kita bicakan ini di dalam, ya. By the way, kamu kayak gini enggak malu diliatin Maria?"

Refleks Addan melepaskan pelukan itu. Addan juga menjauhkan tangan Riana yang sedang membelai dari kepalanya. Efek bahagia itu membuat Addan bertindak mengikuti emosi sampai lupa masih ada Maria yang memperhatikan. Rasanya Addan malu kelakuan manjanya terlihat.

Maria yang melihat tingkah Addan menyemburkan tawanya. Selama bertahun-tahun menjalin persahabatan, baru kali ini Maria melihat sisi manja Addan. Setidaknya pemandangan itu cukup membuat Maria terhibur di tengah ambigu yang melanda.

"Enggak usah ketawa lo, Maria," cicit Addan sembari menahan malu.

"Kocak lo!" ungkap Maria dengan kekehan yang masih bertahan.

"Sudahlah. Ayo masuk aja sekarang." Riana berusaha meleraikan dengan ajakan masuk.

Masuk? Untuk apa? Untuk mendengar bahwa Addan akan mendapatkan restu itu? Betapa semua pertanyaan itu hinggap di ke kepala Maria.

Ingin menolak tak punya alasan. Ingin menerima tak punya nyali. Ingin sakit hati tapi untuk apa? Mengapa sepasang sahabat harus merasakan sakit hati bagi salah satunya? Maria bahkan tidak merasa memiliki hak untuk itu.

Selama bertahun-tahun bersahabat, mengapa perasaan ini baru datang sekarang? Tak bisakah rasaku padanya hanya stuck selayaknya sahabat normal pada umumnya? Batin Maria bersuara.

Tanpa Maria sadari, Maria tampak seperti orang melamun.

"Maria kenapa melamun? Ayo masuk."

Maria tersadar seketika dari lamunannya, saat mendengar suara Riana yang menyapu telinga.

"Iya."

Pada akhirnya mengiyakan ajakan menjadi opsi yang Maria pilih, meski nyali itu tak yakin dia miliki seutuhnya.

Maria memasuki rumah, mengikuti Addan dan Riana, sembari membawa masuk nampan yang sempat dikeluarkan. Langkah kaki Maria yang mengikuti membawanya masuk ke ruang tamu.

"Kamu tau bahwa pernikahan bukan perihal cinta, tapi juga banyak persiapan, 'kan?"

Meskipun Riana sangat menyukai Sri, tapi dia tidak akan langsung memberikan restu itu. Riana perlu memastikan bahwa keseriusan itu benar nyata pada kedua calon pasutri itu.

"Iya, Mi. Fisik dan mental Addan sudah siap untuk melakukan pernikahan." Addan berujar lantang.

"Bagaimana dengan finansial?"

"Addan tau, Addan bukan pebisnis hebat seperti papi. Tapi perihal finansial, atas izin Allah, Addan cukupi itu, Mi."

"Fisik, mental, dan finansial kamu sudang matang, ya? Itu bagus. Tapi kamu juga tau bahwa pernikahan tak hanya perihal tiga itu saja, 'kan?"

Pemberian restu terasa seperti pemberian interogasi bagi Addan. Tapi Addan tidak keberatan jika ini menyangkut Sri.

"Addan tau. Addan juga perlu mempersiapkan diri Addan sendiri agar bisa membimbing wanita yang Addan cintai, serta bersama-sama menuju jalan-Nya yang benar."

Riana tersenyum mendengar semua jawaban Addan. Riana benar-benar merasa bahwa Addan memang sudah siap. Riana tidak akan bertanya, ataupun berpikir dua kali lagi untuk berikan restu.

"Mami merestui kalian."

Senyuman terbit dari diri Addan. Mata Addan dibuat berkaca-kaca karena haru akibat kebahagiaan yang nyata. Ingin rasanya Addan menyalurkan kebahagiaan itu dengan memeluk Riana, tapi ditahannya keinginan itu karena mengingat masih ada Maria di sana.

"Tapi restu bukan hanya dari Mami. Kamu juga perlu mendapatkan restu itu dari papimu, Sayang."

Mendengar perkataan Riana barusan tidak membuat Addan panik. Addan sangat yakin bahwa Rama—papinya—juga akan memberikan restu untuk dirinya.

Ada yang berbahagia, ada juga yang nelangsa. Bukan Maria ingin jahat tidak ingin berbahagia di atas kebahagiaan sahabat, tetapi dia tidak bisa mengendalikan nelangsa yang tiba-tiba datang.

Aku sengaja datang ke rumah ini untuk melihat kebahagiaannya yang kuharap menjadi tamparan diriku, bahwa aku memang tak memiliki harap untuk mendapatkannya. Tapi mendengar kata restu, itu bukan lagi tamparan, itu bak pisau yang menyayat kalbu.

***

Di tempat lain di sebuah rumah sederhana. Ibu dan anak juga sedang duduk bersama.

"Mau bicarakan apa, Sri?" Susi bertanya lembut kepada putri semata wayangnya.

"Bu, seseorang telah memberikan ajakan nikah kepadaku. Dia berkata akan memberitahu orang tuanya, dan lekas datang ke sini untuk meminang," jelas Sri dengan grogi setengah mati.

Susi tidak perlu bertanya untuk mengetahui siapa orang yang mengajak nikah putrinya. Susi sudah mengetahui bahwa orang itu pastilah Addan.

"Orang itu pastilah lelaki yang sudah kamu tunggu-tunggu. Orang itu Addan, bukan?"

Rona merah muncul begitu saja dari pipi Sri, akibat tebakan Susi yang tepat sasaran.

"I-iya, Bu."

Susi tersenyum sembari mengusap kepala Sri. Bibirnya yang terlihat ingin bergerak, tampak seperti akan mengucapkan sesuatu.

"Sri, belum selang waktu yang lama, Ibu dan maminya Addan saling bertelepon, dan kami membahas tentang kamu dan Addan yang semakin dekat."

Sri tampak terkejut mendengarnya. Sri baru tau bahwa ternyata ibunya sempat saling telepon dengan Riana.

"Banyak sekali yang kami bahas, hingga pada akhirnya ada persetujuan dalam diri kami. Jika suatu hari nanti Addan sudah siap meminangmu, kami akan langsung menyetujui jika kesiapan itu benar matang."

"Ja-jadi kami memang sudah disetujui dari awal?" Sri masih tergugup.

Susi hanya tersenyum sambil menjawab dengan anggukan kepala, membuat Sri merasa bahagia dengan gestur yang diberikan itu.

Addan, kita hanya perihal kamu yang kapan datang ke sini.















***
Sed you next chapter.

Note: jadilah pembaca yang meninggalkan jejak.

For UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang