↬16: mad

163 14 0
                                    


JENO LEE mengusap tangan kurus Jaemin yang tertancap infus dengan perlahan, tak ingin membuat sang empunya merasa sakit. Sejak dokter keluarga Na menyatakan bahwa Jaemin mengalami kelelahan dan shock berat, mulutnya tidak berhenti merapalkan kata-kata penyemangat pada telinga si cantik, berharap kelopak mata itu segera terbuka. Rasanya sangat sakit melihat keadaan Jaemin seperti ini.

Mark dan Eric masih setia menemani Jeno yang enggan untuk pulang.

"Jen, makan dulu ayo." si bungsu Lee menepuk pundak sang kembaran pelan. Pemuda itu belum menyentuh makanannya sejak sore tadi hingga malam ini. Eric khawatir Jeno akan ikut jatuh sakit jika tidak segera mengisi perut kosongnya. Jeno hanya diam tak membalas seruan kembarannya.

"Makan Jen, kalo ngga mau gue bilangin uncle Na biar lo suruh pulang." Mark tau, adiknya itu merasa terpukul melihat orang yang ia sayangi sakit. Namun jika terus seperti ini, Mark berani bertaruh, pemuda itu akan jatuh sakit keesokan harinya.

Ingat saat Jeno tiba-tiba tak bisa Jaemin hubungi, padahal sudah janji akan menemani pemuda manis itu untuk membeli sepatu?

Iya, Jeno pingsan setelah melewati makannya seharian penuh. Padahal tubuhnya sedang bekerja ekstra menyelesaikan laporan sang ayah di kantor.

Jeno itu, meski terlihat kuat di luar, nyatanya si pemuda tampan memiliki tubuh yang lebih lemah dari kedua saudaranya. Sejak kecil, ia sudah sering mondar-mandir masuk rumah sakit. Tentu, Eric, sang kembaran pun ikut merasakan sakit. Ikatan keduanya begitu kuat.

Pintu kamar Jaemin terbuka, ketiganya dengan serempak menoleh ke arah pintu. Sosok tinggi itu menghampiri Jeno yang terduduk di pinggir ranjang sang putra dan mendudukkan tubuhnya di samping Jeno. "Did you get your dinner, kids?" Tuan Na melirik ketiga putra sahabatnya dengan tatapan lembut. Si sulung dan bungsu Lee menganggukan kepalanya menjawab pertanyaan papa Jaemin.

"Good." Kepalanya menoleh kearah Jeno yang hanya diam tak merespon pertanyaannya. "Bagaimana denganmu, Jeno Lee?" setiap katanya ia beri penekanan. Na Goong Min, sang kepala keluarga Na itu tidak benar-benar bertanya, namun, terselip sebuah perintah untuk pemuda di hapadannya agar tetap mengisi perut kosongnya.

"Iya, uncle." Pemuda itu pun menyerah, tangan kekarnya meraih nampan di atas meja nakas samping ranjang Jaemin. Goong Min mengangguk puas mendengar jawaban dari Jeno, matanya beralih melirik sang putra yang terbaring lemah dengan tangan tertancap infus dan pipi gembulnya yang masih tercetak jelas bercak merah. Hatinya pun merasakan sakit, ayah mana yang tidak marah dan sedih melihat putra semata wayangnya dalam kondisi seperti ini.

"Sudah tau siapa pelakunya?" tanya Tuan Na pada ketiga pemuda yang berada di kamar sang anak. "Um, belum uncle, cctv di koridor sekolah memang merekam seorang pria tinggi dengan kedua kaki tangannya saat menculik Jaemin," Si sulung memberikan informasi pada Tuan Na yang ia dapatkan dari salah satu temannya. "Hanya, belum bisa dipastikan identitasnya karena orang-orang itu memakai masker. Temen-temen agak susah ngenalin mukanya."

Tuan Na menggangguk paham, mereka juga perlu kesaksiaan Jaemin langsung agar bisa mengetahui pelakunya.

Na Goong Min cukup berbelas kasih untuk tidak menghancurkan sang pelaku dengan kedua tangannya sendiri saat ini juga. Biarlah ini jadi urusan pemuda-pemuda ini. Ia percaya mereka bisa mengatasinya. Bukan tidak peduli, namun, jika Tuan Na yang turun tangan langsung, sudah dipastikan tidak akan ada pengampunan sedikit pun. Ia bisa menghancurkan seluruh keluarga pelaku tanpa sisa!

"Tapi, uncle..." Goong Min membalikkan badan sepenuhnya menghadap Mark, alisnya sedikit terangkat menunggu si sulung Lee melanjutkan ucapannya.

Been Through A Long Journey : NOMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang