Di Balik Semua Kisah: Menuju Perang Besar

34 6 44
                                    

Sepulang dari duelnya bersama Gaara, Toneri sama sekali tidak menyangka akan disambut oleh Kashimura tepat di depan kamarnya. Wajah pria itu tidak lagi merah tapi masih menampilkan ekspresi kesal, uap mengepul dari cangkir teh dan ikan asap yang baru matang—terletak rapi di atas nampan yang dia bawa.

“Lebih lama lagi dan makan malammu adalah ikan dingin,” kata Kashimura mengawali omelannya.

Dengan tak acuh Toneri bergerak untuk membuka pintu kamar penginapannya. Toh ia juga tidak meminta dibawakan makanan, itu inisiatif Kashimura sendiri—mungkin karena titah Michiko—jadi mau ikan tersebut masih panas maupun sudah dingin sama sekali bukan urusannya.

Kashimura mengikutinya masuk tanpa persetujuan. Nampan yang dia bawa diletakkannya di atas tatami sebelum menjatuhkan diri, menunggu Toneri bergabung. Selepas si pemuda menempati sisi sebelahnya, Kashimura kembali membuka suara.

“Kau sungguh tidak akan menjelaskan apa yang terjadi pada putraku?”

Pertanyaan itu sebenarnya cukup membuat jantung Toneri terasa turun ke perut. Ia kira Kashimura tak akan membahas persoalan ia yang terlambat membawa Fumiya kembali.

Mendapati Toneri lagi-lagi enggan menjawab, Kashimura kemudian memilih cara lain—dengan memulai kisah masa lalu yang dia kira dapat membuat Toneri penasaran.

“Toneri, ada sebuah peristiwa yang harus kuceritakan kepadamu.” Kashimura menatap putra Murasaki dengan mimik serius.

Toneri diam, menyimak kalimat-kalimat yang hendak Kashimura lontarkan lagi.

“Aku tahu, ibumu pasti banyak mengisahkan cerita. Akan tetapi, aku yakin, dia belum sempat mengisahkan peristiwa Perang Besar kepadamu.”

“Ibunda dan Ayahanda adalah Purnawirawan Perang Besar. Aku tahu itu.”

Kalimat itu bermakna bahwa Perang Besar merupakan kisah yang hanya diajarkan di sekolah dan didapatkan sekilas saja dari orang tuanya. Kashimura tidak yakin alasan kedua orang itu tidak menuntaskan kisah kepada putra semata wayang mereka.

“Tapi, apakah kau tahu bagaimana jalannya perang saat itu?”

“Tidak.”

“Aku akan ceritakan—”

“Tidak. Tidak perlu menceritakannya.”

“Kenapa? Ayahmu melarang?”

Toneri menggeleng. “Ayahanda mengatakan, pamanku akan memberitahunya.”

“Paman?”

“Hm.”

Kashimura tertarik. Dia menebak bahwa yang dimaksud adalah adik lelaki dari Permaisuri Murasaki. Namun, untuk memastikan, dia pun bertanya, “Siapa?”

“Dia adalah perwira termuda dan kesayangan ayah di divisi sayap kanan. Paman Rakta.”

Kashimura menyunggingkan senyuman. “Rakta?”

“Rakta yang bermakna merah. Merah karena minum arak.”

Kashimura merasa kesal untuk sekian detik. Ternyata ayah si bocah magang benar-benar tidak menutupi apa pun yang berhubungan dengan aibnya. Andai saja dulu dia tidak ketahuan, tidak mungkin Tsukiyoshi meledeknya dengan nama kesayangan seperti itu.

“Akan tetapi, kata Ibunda ….”

Jika ayahnya saja mengambil sudut pengertian Rakta sebagai hal yang memalukan, tentu sang ibu mengambil sudut pandang yang lebih buruk lagi. Kashimura menebak-nebak dengan percaya diri.

“Rakta bisa pula bermakna pejuang yang merah mukanya ketika di medan perang, sebuah raut yang mengerikan bagi musuh-musuhnya.”

Kashimura tertegun untuk beberapa saat. Tanpa sadar mata lelaki itu berkaca-kaca karena terharu akan pengagungan kecil dari Maharani Murasaki, lalu dia berbisik, “Nee-sama ….”

WILD KINGDOM (The Unforgettable Words)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang