Bencana tengah menghampiri Jemima. Wanita yang berpikir akan merayakan kemerdekaan singkatnya hingga malam bersama para anggota Pejuang Kebebasan, karena mereka sudah berniat untuk melakukan karaoke selama tiga jam usai makan, malah dihadapkan oleh tatapan buas Abyasa yang berhasil menarik ia ke restoran Lain.
Tempatnya tak jauh dari tempat ia berkumpul dengan teman sejawat, tapi tetap saja ia tak bisa kabur dari pria yang masih tetap terlihat mengerikan meski tatapak yang menghunus tajam itu berada di balik kacamata minus yang hanya dilepas di saat-saat tertentu saja.
Menelan salivanya kasar, Jemima yang bahkan tak mampu meratapi nasib, lalu mengaduk-aduk steak yang sudah ia potong kecil-kecil.
Makanannya sama-sama daging. Malah jika dilihat dari kualitas, menu yang Abyasa pilihkan untuknya memiliki harga berkalilipat lebih mahal dari hidangan di rumah makan AYCE yang membolehkan ia makan sepuasnya selama sembilan puluh menit. Tapi berselera untuk menelannya saja tidak, karena Abyasa di hadapannya membuat nafsu makan yang ia punya menghilang.
Pria yang masih menggunakan setelan kemeja seperti siang tadi, sama dengannya yang masih memakai pakaian yang ia pakai untuk bekerja seharian, terus saja menatap Jemima seolah makanan tak jauh lebih menarik dari wajahnya yang bisa diperkirakan sedang cemas sekarang.
Padahal dia tak buat salah. Tapi kalau dihadapkan dengan Aby, herannya selalu saja merasa was-was.
Mengedarkan pandangan ketika sudah bosan ia tatap steak yang berubah jadi potongan-potongan kecil. Malangnya sudah seperti makanan sisa yang tak layak makan, Jemima tersentak mendengar dehaman Abyasa yang mulai mengangkat garpu dan pisau.
Jemima melirik pria itu hati-hati.
"Pulang jam berapa tadi?"
Jemima langsung berdengung panjang. "Ngga lama dari bapak pergi."
"Kenapa?"
Jemima meringis.
Padahal Abyasa tadi meninggalkan ia dengan setumpuk pekerjaan tapi Jemima tak berpikir untuk menyelesaikan karena pria ini biasanya tak akan marah kalau ia tinggal pulang pekerjaan selama Abyasa juga sudah tak di kantor.
"Kan ngga apa-apa pulang kata bapak."
Abyasa diam, seolah tak menyalahkan keputusan Jemima untuk pulang, namun pria yang selalu menyisir rapi rambutnya ke belakang ketika bekerja itu masih tetap menatap Jemima begitu dalam.
Gugup, wanita yang menggunakan blouse putih itu, mengusap-usap pelan pahanya yang tertutup celana berwarna khaki.
"Yang lainnya? Mereka pulang lebih awal ju--"
Menutupi kesalahan teman, Jemima lalu menggeleng. "Mereka jam setengah lima, pak. Saya duluan yang pulang."
Lagi, Abyasa tak protes jawaban Jemima. Memasukkan perlahan potongan daging ke mulut tanpa memutus pandang dengan Jemima yang seperti berada di ruang persidangan. Pria itu lalu mengangguk pelan. "Lalu mereka ajak kamu makan--"
"Ngga juga, pak. Saya yang ajakin, kok!" Duh, kenapa pula untuk hal-hal seperti ini harus Jemima jelaskan.
Itu haknya untuk pergi makan dengan siapapun, kan?
Ck! Tapi kenapa dia seperti maling yang tertangkap basah begini jika sudah jelas tahu tak lakukan kesalahan kecuali pulang bahkan sebelum pukul lima.
"Kamu yang ajak mereka makan?" Tatapan Abyasa kian meruncing dan Jemima yang perlahan mengumpulkan keberanian, mengangguk lagi.
"Saya sudah biasa pulang malam. Sesekali pulang cepat--"
"Saya ngga marah untuk itu."
Ooh?
KAMU SEDANG MEMBACA
Personal Assistant : WIFE!
RandomDi penghujung usia tiga puluh, Jemima akan melepas masa lajangnya. Ketika ia pikir tak memiliki alasan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan yang menyita dua belas jam waktunya--kadang lebih--dalam sehari. Akhirnya perjodohan yang diatur oleh kelua...