Dia bukan penikmat senja setelah hari-harinya habis di meja kerja. Bukan pula orang yang bersyukur ketika hujan turun setelah terik terus menerpa, karena ruang ber-AC adalah tempat di mana ia habiskan waktunya. Jadi tragedi alam yang semesta cipta hanya angin lalu yang sekadar lewat dan memberinya rasa selintas saja.
Tapi setelah berminggu-minggu berlalu, dapat ia lihat jika jingga sore bisa menjadi hal yang begitu indah dan hujan bak berkat setelah panas menyengat.
Ternyata dunia masih semenarik ini setelah bertahun-tahun waktu ia habiskan hanya untuk memikirkan apa yang akan ia kerjakan besok dan ke mana harus ia bagi pendapatan yang sudah membeli seluruh waktu yang ia miliki.
Jemima tak tahu jika ada masa di mana dirinya akan bergerak keluar dari rotasi, menciptakan indahnya sendiri tanpa harus menaruh target atau melampaui ekspektasi.
Namun seperti manis yang dinikmati setiap hari, rasa jemu pun melilit seperti belenggu.
Tak lakukan apapun, seolah dunianya berhenti di sini. Menatap hamparan sawah yang terbentang, mengukir tanah dengan jemarinya yang ingin kembali menari di atas keyboard atau melukiskan karya berbentuk kata-kata, neraca, dan tabel-tabel yang membuat pusing. Jemima merasakan hampa setelah secuil waktunya dari sepuluh tahun yang ia habiskan untuk bekerja ia pakai untuk tak lakukan apa-apa.
Ternyata apa yang pernah tampak indah di bayangannya dulu tak semenarik kenyataan ketika ia realisasikan.
Hah ... Apakah tak melakukan apapun hanya sebuah kamuflase sebelum ia masuki dunia yang lebih berbeda lagi ketika ia menjadi seorang istri?
Mungkinkah ini yang Sang Pencipta inginkan sebelum ia disibukkan oleh aktivitas baru sebagai ibu rumah tangga yang akan mengurusi rumah, suami dan anaknya?
Entahlah.
Jemima belum bisa membayangkan semenarik apa dunia pernikahannya nanti karena setelah ia bayangkan nikmatnya menjadi pengangguran, Jemima malah merasa bosan ketika itu menjadi kenyataan.
Sialan memang.
"Mba e!"
Bola mata bergulir ke atas saat mendengar teguran dari arah belakang, Jemima menoleh dan dapati Jenar yang entah sejak kapan menghampiri dirinya yang berusaha untuk membunuh rasa jenuh dengan duduk sendiri di bawah pohon kelapa yang ditanam sang ayah di pinggir sawah milik mereka.
Sawah yang berhasil dibeli menggunakan uang Jemima setelah lima tahun menjadi budak korporat.
"Dicari dari tadi, kiranya di sini." Tersenyum tipis pada Jenar yang jarang sekali bisa menemani ia karena masih sibuk kuliah, Jemima lalu menunduk kembali, menatap tanah yang terdapat ukiran abstrak buatannya. "Ngapain to?" Dengan aksen medok yang khas, Jenar bertanya.
"Ndak ada." Jemima hela napasnya dengan hentak cukup kuat.
"Eh mba. Malam ini mas Darya datang to?"
Berhenti mengukir-ukir tanah kering di sekitarnya, Jemima lantas menatap Jenar kembali yang membagi senyum begitu cerah.
"Diapelin lagi ciyeee."
Jemima mengangkat kedua sudut bibirnya.
Darya.
Pria yang ternyata tak jauh lebih tinggi darinya itu entah mengapa tak seperti yang Jemima bayangkan.
Lagi-lagi dikecewakan oleh ekspektasi.
Bersama pria yang selalu nggah-nggih (iya-iya) saja seolah tak punyai pendirian rupanya membosankan juga, ya?
Apalagi sepanjang pertemuan mereka yang hanya dua kali saja dalam satu minggu, selalu Jemima isi dengan celotehnya saja dan Darya hanya mendengarkan dengan senyum terkulum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Personal Assistant : WIFE!
RandomDi penghujung usia tiga puluh, Jemima akan melepas masa lajangnya. Ketika ia pikir tak memiliki alasan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan yang menyita dua belas jam waktunya--kadang lebih--dalam sehari. Akhirnya perjodohan yang diatur oleh kelua...