Epilog.

656 63 4
                                    

Ravi berjalan menuju keruangan renan, dia panik saat tidak mendapatkan siapapun di dalam sana.

Surat yang ditinggalkan di atas meja menjadi perhatian utamanya.

Untuk siapapun yang membaca ini.

Tidak perlu mencariku karena aku sudah bebas.

Aku takut pada air, tapi sebenarnya aku lebih takut pada pikiranku sendiri.

Beberapa tahun terakhir aku memandang ketakutanku dengan cara yang berbeda.

Aku ingin bebas dan aku tahu sang pencipta mungkin tidak akan bermurah hati padaku jadi aku hanya harus mencari jalan keluar lain.

Bayangkan dimana tubuhmu jatuh semakin dalam, bayangkan saat dimana tidak ada lagi suara yang dapat kau dengar, bayangkan saat kau hanya perlu merasa sakit sebentar lalu kau bisa bebas...

Semua itu terus berputar dikepalaku membuatku semakin tertarik untuk mencobanya.

Maaf karena tidak bisa menjadi 'benar' yang kalian mau...

Ravi benar besok akan lebih baik dan aku percaya itu.

Aku masih sangat menyayangi kalian tapi ayo tidak saling bertemu lagi di kehidupan selanjutnya, karena aku ingin ingin menjadi mawar merah paling cantik yang ada di muka bumi.

Dariku yang sebentar lagi bisa bahagia.

Tubuh ravi lemas, ternyata kembarannya lebih memilih kebebasan yang dia mau daripada terperangkap disini.

Percakapan perawat yang tidak sengaja dia dengar membuat luka di hatinya semakin menganga.

"aku mendengar ada pemuda tidk bernyawa yang ditemukan di danau bintang" kata salah seorang perawat.

"katanya dia bunuh diri" balas yang lainnya.

"benarkah?"

"ya, pemuda itu memakai pakaian rumah sakit itulah kenapa polisi datang bertanya pagi tadi"

Ravi yang mendengar itu dengan cepat melangkahkan kakinya, dia melihat petugas polisi yang dibicarakan oleh perawat itu lalu bergegas kesana.

Ravi memegang tangan polisi itu dengan sedikit gemetar, suaranya dia paksakan untuk keluar, jantungnya berdetak sangat cepat...

Ravi ketakutan.

"petugas, bisakah aku melihat wajah pemuda itu?" ravi melihat ke arah petugas yang menatapnya heran, dia ingin menangis tapi dia masih bisa menahannya.

"tentu"

Lalu ravi pergi dengan petugas polisi itu, dia menelfon keluarganya dan meminta mereka untuk datang ke kantor polisi segera.

Dibukanya kain yang menutup wajah pemuda itu dan tampaklah sosok familiar yang sangat dia kenal.

Tangisnya tidak bisa dia tahan, hatinya sakit, kepalanya pusing.

Ravi terduduk, ingin rasanya dia berteriak tapi suaranya tidak bisa keluar. Tenggorokkannya terasa sakit, pemuda itu menangis tanpa suara.

Itu Renan, kembarannya, renannya...

Ravi ditenangkan oleh petugas polisi sambil menunggu kedatangan keluarga radista.

Sesampainya keluarga itu disana yang mereka lihat adalah ravi yang hancur, lalu mereka mengalihkan pandangannya ke arah lain, tempat dimana pemuda yang tubuhnya membiru itu terbaring.

Renan...

Pemuda itu disana, dengan tubuh membiru dan mata tertutup.

Pemuda itu disana, tapi sudah meninggalkan mereka.

Tidak ada yang bisa menahan tangis, mereka semua hancur, yasah dan shaka saling menyalahkan, tuan radista menutup matanya seolah menolak kenyataan yang terjadi, nyonya radista memeluk renan erat dan tidak mau melepaskannya.

"renan, ibu disini... Ibu memelukmu, kau selalu menginginkannya kan? Ibu tidak akan melepaskannya ibu janji, jadi... Jadi ibu mohon, ibu mohon bangun" katanya sambil mempererat pelukannya pada tubuh pemuda itu.

"renan kaka minta maaf, ayo teriak seperti semalam, kau bisa marah tapi jangan pergi..." shaka, pemuda itu lebih memilih amarah adiknya daripada harus kehilangan seperti ini.

"adek maaf, kaka kasar maaf, adek matanya dibuka jangan ditutup, kaka salah kaka minta maaf" yasah menggenggam tangan pemuda itu dan terus berdoa, berdoa akan munculnya keajaiban, mungkin renan hanya marah dan ingin mempermainkan mereka.

"renan maaf aku terlambat, akulah yang tidak baik sebagai kembaranmu, maaf karena tidak bisa menjadi tempatmu pulang, maaf karena tidak bisa menjadi alasan yang cukup untuk kembalimu" ravi berkata perlahan, dia tidak punya tenaga, dia tidak rela dia tidak ikhlas, tapi hanya maaf yang bisa keluar dari bibir mungilnya.

"renan sayang, ayah temani ke galeri lukis mau? Kita kesana ya... Tapi matanya dibuka dulu sayang, renan lelah hmm? Maaf ya, ayah malah melukai renan padahal harusnya tugas ayah melindungi renan... Ayah bohong, ayah tidak mau renan pergi" pria paruh baya itu terlihat sangat rapuh, mereka terlambat.

Ribuan kata penenang tidak akan cukup untuk membangunkan renan, tubuh pemuda itu biru tidak ada darah yang mengalir ditubuhnya, tidak ada detak jantung, dan tidak bernafas.

Tapi senyum di ujung bibir bocah itu dapat memberitahu jika dia merasa puas, akhirnya dia bebas...

Tidak ada lagi luka, tidak ada lagi tangis di tengah gelapnya malam, tidak ada lagi rasa takut, hanya lega yang muncul di wajah pemuda itu.

Begitu tenang, begitu nyaman.

Akhirnya renan bebas.

I'm The Unwanted TwinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang